Sabtu, 04 Februari 2012

Review Buku: Kedokteran Nabi, Antara Realitas Kebohongan

Salah satu fakta terkini yang perlu diapresiasi secara positif adalah tumbuhnya kesadaran umat Islam untuk kembali ke ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah, baik dalam skala luas semisal perjuangan sebagian umat Islam yang ingin mengembalikan junnah umat Islam, Khilafah Islamiyah, maupun dalam lingkup yang lebih sempit. Termasuk yang cukup marak adalah kampanye kembali ke pengobatan Nabi, atau ath-thibb an-nabawi. Kampanye ini seringkali –atau biasanya– dibenturkan dengan pengobatan modern yang kimiawi, kapitalis dan penuh konspirasi.
Saat ini, klinik-klinik thibbunnabawi tumbuh subur bak cendawan di musim hujan. Produk-produk thibbunnabawi semisal madu dan habbatussauda laris manis di pasaran. Lahir pula terapis-terapis handal yang –sebagian besarnya– sebelumnya tak pernah tercatat punya riwayat pendidikan baik formal maupun non formal di bidang kesehatan. Marak pula buku-buku bertemakan kedokteran ala Nabi, baik terjemahan maupun asli tulisan orang Indonesia. Kebanyakannya mendefinisikan kedokteran ala Nabi dengan bekam, madu, habbatussauda dan yang semisalnya, kadang-kadang disertai dengan kritik tajam terhadap kedokteran dan pengobatan modern.


Di tengah-tengah fenomena semacam ini, ternyata ada buku yang mencoba melawan arus, judulnya “Kedokteran Nabi, Antara Realitas & Kebohongan”. Buku yang ditulis oleh Abu Umar Basyier dan diterbitkan oleh Shafa Publika (yang saya punya cetakan pertama, Maret 2011) ini mengusung wacana baru tentang thibbunnabawi, paling tidak dibandingkan mainstream yang ada. Sebagai gambaran awal, mari kita simak tulisan yang terdapat di back cover buku ini.
“Jika anda selama ini membayangkan jinten hitam (habbah sauda’), zaitun, maupun bekam setiap kali disebut pengobatan ala Nabi atau pengobatan ala Sunnah maka persepsi anda akan berubah dengan membaca buku ini. Anda akan mendapatkan khazanah yang lebih kaya tentang pengobatan Rasulullah.
Selama ini anda mungkin menganggap pengobatan ala Nabi selalu berlawanan dengan medis modern; pengobatan Nabi tanpa efek samping, sedangkan pengobatan medis modern penuh resiko efek samping, pengobatan Nabi jelas syar’i dan medis modern tidak syar’i, buku ini akan menjelaskan bahwa pengobatan ala Nabi dan pengobatan medis modern memiliki relevansi.
Ustadz Abu Umar Basyier dalam bukunya Kedokteran Nabi antara Realitas dan Kebohongan membuka mata dan pikiran kita bahwa pengobatan ala Nabi dan pengobatan modern sangat mungkin dipadukan dan saling mendukung.
Buku ini akan membuka cakrawala kita tentang pengobatan ala Nabi yang telah disempitkan seputar jinten hitam, madu, zaitun, dan bekam. Ternyata pengobatan ala Nabi begitu luas, beragam dan kaya. Seolah membuktikan sabda Rasulullah, “Setiap penyakit ada obatnya. Jika obat yang tepat diberikan dengan izin Allah, penyakit itu akan sembuh”. (HR. Muslim, Ahmad dan Hakim).”
Membaca pemaparan di back cover buku ini saja sudah lumayan memberikan gambaran tentang cara pandang penulis, Abu Umar Basyier, terhadap thibbunnabawi. Untuk mendapatkan gambaran yang agak lebih lengkap, saya akan coba mengutip beberapa contoh pernyataan penulis.
Di sebuah catatan kaki, terkait pemahaman sebagian masyarakat yang menyimpulkan thibbun nabawi tidak akan jauh-jauh dari madu dan jinten hitam, penulis menyatakan, “Di sini saya tegaskan, bukan madu dan jintan hitam, berbeda dengan ungkapan bukan hanya madu dan jintan hitam. Karena saya yakin jintan hitam dan madu bukanlah Ath-Thibbun Nabawi. Kedokteran Nabi atau Ath-Thibbun Nabawi adalah metodologi. Sementara kedua jenis komoditi ini hanya dua komoditi yang dipuji dan dianggap baik dalam Hadis-Hadis shahih. Jadi hanya bisa dikatakan, menurut metodologi Ath-Thibbun Nabawi madu dan jintan hitam itu obat yang baik dan manjur untuk banyak jenis penyakit.”
Di bagian lain, beliau juga menuliskan, “Penggunaan jintan, madu dan berbagai komoditi medis lain yang disebutkan dalam berbagai Hadis, memerlukan cara dan ilmu tersendiri yang butuh dipelajari, agar efek therapis dari komoditi medis itu menjadi optimal. Bila tidak, bisa saja komoditi itu justru tidak berkhasiat sama sekali, atau malah membahayakan konsumennya. Itu artinya, sisi kedokteran Nabi pada penggunaan jintan dan madu misalnya, tidak hanya terletak pada substansi kedua komoditi tersebut, namun juga terletak pada hal-hal yang terkait dengan petunjuk medis seputar penggunaannya.”
Ketika membahas tentang syarat-syarat tenaga medis yang layak berpraktik dalam dunia pengobatan, beliau mengungkapkan, “Ini termasuk hal yang perlu dicermati. Karena banyak sekali terjadi malpraktik, akibat kurangnya perhatian terhadap skill dan kemampuan yang optimal di bidang medis. Memang, kasus munculnya dokter-dokter ‘gadungan’ yang sesungguhnya tidak pernah lulus secara akademis, namun dinyatakan lulus dengan cara ‘membeli’ titelnya, sungguh sangat merisaukan. Namun di kalangan tradisionalis, para praktisi pengobatan bekam, akupunktur atau yang lainnya, juga banyak para tenaga medis yang sesungguhnya tidak terampil, hanya bermodal ‘nekat’ dan membuka praktik pengobatan. Meski banyak berhasil, namun tanpa disadari mereka juga banyak membahayakan para pasien. Sebagian ada yang akhirnya dituntut ke pengadilan karena dicap melakukan malpraktik, dan sebagian masih aman dan tidak tersentuh hukum.
Tapi seyogyanya, setiap praktisi pengobatan apapun, memperhatikan skill, kemampuan dan pengetahuannya di bidang pengobatan, serta mencari pengalaman sebanyak mungkin dengan belajar secara langsung dari orang-orang yang lihai, agar tidak terjerumus pada kekeliruan penerapan yang berakibat mencelakakan pasien.
Salah seorang Khalifah Abbasiyah, Khalifah Al-Muqtadir billah (908 M), pernah memerintahkan seorang tenaga medis muslim handal, Sannan bin Tsabit, untuk melakukan seleksi terhadap semua tenaga medis Islam saat itu, siapa saja yang layak diberi lisensi untuk melakukan praktik pengobatan massal.
Itu menunjukkan perhatian yang besar dari pemerintahan Islam kala itu, untuk menyeleksi para tenaga medis yang mencoba mempraktikkan ath-thibbun Nabawi, agar tidak menimbulkan kerusakan di tengah umat.”
***
Jika harus memaparkan seluruh seluk-beluk isi buku ini, tentu akan sangat panjang tulisan ini dan membutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikannya. Sedikit kutipan di atas mudah-mudahan bisa menjadi panduan bagi Anda untuk menyelami isi buku ini. Walaupun bukan ditulis oleh seorang ahli medis, buku ini tetap layak untuk dibaca, karena penulisnya –yang lebih dikenal sebagai salah seorang ustadz Salafi dan penulis beberapa buku keislaman– telah melakukan studi pustaka terhadap berbagai literatur ilmiah, baik melalui buku-buku berbahasa Indonesia, Inggris dan Arab, maupun melalui beberapa media. Dan yang paling penting, apa yang beliau tuangkan sebagai tulisan dalam buku ini, paling tidak menurut saya, cukup bagus dan layak dijadikan informasi penyeimbang bagi pendapat mainstream yang ada selama ini.
Buku ini saya rekomendasikan dibaca oleh praktisi thibbunnabawi dan semua orang yang bersimpati terhadap pengobatan ala Nabi.

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar