Rabu, 08 Februari 2012

Haruskah Taqlid? (Bagian 3)

WAJIBNYA ITTIBA’ KEPADA NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Allah Subhanahu wa Ta‘ala telah mewajibkan kepada setiap orang yang beriman agar mentaati dan mengikuti (ittiba‘) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta menjadikan beliau sebagai satu-satunya hakim, taslim (tunduk) pada keputusan beliau dan tidak menyalahi perintah beliau baik ketika beliau masih hidup maupun telah wafat. Dan ketaatan itu menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta‘ala.
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Taat kepada Allah adalah dengan mengikuti Kitab-Nya dan taat kepada Rasul adalah dengan mengikuti Sunnah.” [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (I/568)]
Allah Jalla Dzikruhu telah berfirman,
وَأَطِيْعُوْااللهَ وَأَطِيْعُوْاالرَّسُوْلَ وَاحْذَرُوْاۚ فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُواأَنَّمَاعَلَى رَسُوْلِنَاالْبَلَغُ الْمُبِيْنُ ۝
Artinya: “Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul(Nya) serta berhati-hatilah. Jika kamu berpaling maka ketahuilah bahwa kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (Qs. Al-Ma’idah: 92)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى .
Artinya: “Setiap ummatku akan masuk Surga, kecuali yang enggan.” Mereka (para Shahabat) bertanya: “Siapa yang enggan itu?” Jawab beliau: “Barang siapa yang mentaatiku pasti akan masuk Surga, dan barang siapa yang mendurhakaiku, maka sungguh ia telah enggan.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (no. 7280) dan Ahmad (II/361), dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
Wajib bagi setiap mukallaf (orang terbebani kewajiban syar’i) untuk senantiasa mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak boleh mengikuti orang selain beliau. Sampai-sampai, kalau saja Nabi Musa ‘alaihis salam berada diantara manusia, kemudian manusia mengikuti syari’atnya dan meninggalkan syari’at yang telah dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pastilah dia akan tersesat. Sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini,
وَالَّذِي نَفْسِي مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوْأَصْبَحَ فِيْكُمْ مُوْسَى ثُـمَّ اتَّبَعْتُمُوْهُ وَتَرَكْتُمُوْنِيْ لَضَلَلْتُـمْ .
Artinya: “Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seandainya Musa berada diantara kalian, kemudian kalian mengikuti (ajaran)nya dan meninggalkan (ajaran)ku, niscaya kalian akan tersesat.” [Hadits shahih lighairihi, diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya (III/470-471 dan IV/265-266)]
Jika seorang Musa ‘alaihis salam saja tidak boleh untuk diikuti setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan risalahnya, maka bagaimana orang selain beliau boleh untuk diikuti, padahal ajarannya bertolak belakang dengan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam …?!
Dengan demikian, wajib bagi setiap jiwa yang mengaku sebagai seorang muslim untuk menerima segala ketetapan Allah dan Rasul-Nya, secara lahir dan batin tanpa penolakan sedikit pun dan dalam bentuk apa pun. Itulah yang menjadi ‘aqidah seorang Muslim.
KAPANKAH HARUS TAQLID?
Taqlid tidaklah tercela dan terlarang secara mutlak. Ada bentuk taqlid yang memang terlarang secara mutlak, ada juga bentuk taqlid yang malah diwajibkan, dan ada pula bentuk taqlid yang boleh untuk dilakukan karena beberapa sebab.
Imam lbnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah membagi taqlid menjadi tiga macam, yaitu: [Lihat I’lamul Muwaqqi’in (III/447)]
Pertama, Taqlid yang diharamkan,
Ada tiga jenis taqlid yang diharamkan, yaitu:
1. Taqlid kepada perkataan nenek moyang sehingga manusia berpaling dari apa yang telah diturunkan Allah. Contohnya: Kaum Jahiliyyah yang taqlid kepada ajaran nenek moyang mereka untuk menyembah berhala. Sebagaimana disebutkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam firman-Nya,
وَكَذَ لِكَ مَآ أَرْ سَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَّذِيْرٍ إِلاَّ قَالَ مُتْرَ فُوهَآ إِنَّا وَجَدْنَآ ءَابَآءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى ءَاثَرِهِمْ مُّقْتَدُوْنَ ۝ قَـلَ أَوَلَوْ جِئْتُكُمْ بِأَهْـدَى مِمَّا وَجَدْتُّمْ عَلَيْهِ ءَابَآءَكُمْۖ قَالُوا إِنَّا بِمَآ أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَفِرُونَ ۝
Artinya: “Dan demikian juga ketika Kami mengutus seorang pemberi peringatan sebelum engkau (Muhammad) dalam suatu negeri, orang-orang yang hidup mewah (di negeri itu) selalu berkata, ‘Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu (agama) dan sesungguhnya kami sekadar pengikut jejak-jejak mereka.’ Rasul itu berkata, ‘Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih baik daripada apa yang kamu peroleh dari (agama) yang dianut nenek moyangmu?’ Mereka menjawab, ‘Sungguh kami mengingkari (agama) yang kamu diperintahkan untuk menyampaikannya.” (Qs. Az-Zukhruf: 23-24)
2. Taqlid kepada orang yang tidak diketahui apakah dia pantas diambil perkataannya ataukah tidak. Contohnya: Taqlidnya seseorang kepada orang lain yang tidak diketahui asal usulnya. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla,
يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا إِنْ جَآءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبِإٍ فَتَبَـيَّنُوا أَنْ تُصِيْبُوا قَوْمًا بِجَهَلَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَدِمِيْنَ ۝
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepadamu dengan membawa berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang nanti akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.” (Qs. Al-Hujurat: 6)
3. Taqlid kepada perkataan seseorang, padahal dia mengetahui adanya hujjah (bukti) dan dalil yang bertentangan dengan pendapat orang tersebut. Contohnya: Taqlid yang dilakukan kaum Yahudi dan Nashara kepada para pendeta dan rahib mereka, sehingga mereka berpaling dari dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla,
إِتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُـمْ أَرْبَابًا مِّنْ دُوْنِ اللهِ … ۝
Artinya: “Mereka menjadikan orang-orang alim (Yahudi) dan rahib-rahibnya (Nasrani) sebagai rabb selain Allah…” (Qs. At-Taubah: 31)
Kedua, Taqlid yang diwajibkan,
Taqlid yang diwajibkan adalah taqlid kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih. Ini bukanlah taqlid dalam arti yang sebenarnya, melainkan dia bermakna kepada ittiba’. Dan ini merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Karena Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan wahyu dari Rabbul ‘Izzati yang terpelihara, sehingga manusia yang berpegang kepada keduanya tidak akan sesat selama-lamanya.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
قُلْ أَطِيْعُوا اللهَ وَالرَّسُوْلَۚ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْكَفِرِيْنَ ۝
Artinya: “Katakanlah (Muhammad): ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya. Jika kamu berpaling, ketahuilah sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.’” (Qs. Ali ‘Imran: 32)
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَلَّفْتُ فِيكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّتِى وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَىَّ الْحَوْضَ .
Artinya: “Aku tinggalkan (untuk kalian) dua perkara yang kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh kepada keduanya yaitu Kitabullah dan Sunnahku, serta keduanya tidak akan berpisah sampai keduanya mendapatiku di Al-Haudh (telaga di Surga).” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al-Hakim (I/93), Al-Baihaqi (X/114) dan Malik (hal. 686), dari Abu Hurairah radhiyallahu‘anhu]
Ketiga, Taqlid yang dibolehkan.
Taqlid yang dibolehkan adalah taqlid yang dilakukan oleh seorang awam kepada orang yang lebih ‘alim dan memiliki kemampuan untuk berijtihad, karena orang tersebut tidak mampu untuk melakukan tahqiq (penelitian dalil) dan tarjih (menyimpulkan hukum yang paling dekat kebenarannya dengan dalil) dalam menentukan hukum syari’at. Para ulama bersepakat bahwa seorang awam boleh taqlid kepada ulama yang berjalan di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagai perwujudan firman Allah Ta’ala,
فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ ۝
Artinya: “Maka bertanyalah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.(Qs. Al-Anbiya’: 7)
Akan tetapi, ada beberapa syarat yang harus diperhatikan berkaitan dengan dibolehkannya taqlid dalam kondisi semacam ini, antara lain:
1. Seorang yang taqlid adalah seorang yang benar-benar awam terhadap perkara syari’at dan tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui hukum Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Hendaknya orang yang menjadi sasaran taqlid adalah orang yang baik agamanya, dan ilmunya mendalam, serta memiliki kemampuan untuk berijtihad.
3. Orang yang taqlid itu belum mengetahui adanya pendapat lain yang lebih baik dan lebih dekat kepada kebenaran dari pada pendapat yang dia pegangi secara taqlid.
4. Tidak boleh untuk taqlid pada permasalahan yang menyelisihi nash syari’at atau ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin.
5. Orang yang taqlid tidak boleh mewajibkan dirinya untuk mengambil satu madzhab saja dalam semua perkara syari’at. Hendaknya dia berusaha untuk mencari kebenaran dan berpegang pada pendapat yang lebih mendekati kebenaran. Meskipun pendapat tesebut ada di berbagai madzhab.
6. Tidak boleh berpindah-pindah dari satu madzhab ke madzhab yang lainnya dengan tujuan mencari rukhshah (keringanan) dan mencari kemudahan dalam menjalankan syari’at. Sehingga dia hanya mengambil yang dia anggap paling ringan dan paling sesuai dengan nafsunya.
[Lihat Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (II/170), I’lamul Muwaqqi’in (III/462), Al-Mukhtasharul Hatsits (hal. 197), Syarah Ushul min ‘Ilmil Ushul (hal. 594-597), dan Mulia dengan Manhaj Salaf (hal. 300-301)]
BOLEHKAH BERMADZHAB?
Diperbolehkan bagi seseorang untuk mengikuti madzhab tertentu karena dua hal:
Pertama, ketidakmampuannya dalam memahami nash-nash agama,
Kedua, dengan mengikuti madzhab tertentu, dapat mencegahnya dari dampak buruk yang timbul akibat ketidaktahuannya terhadap perkara syari’at. Misalnya, membuat pendapat baru yang sama sekali tidak pernah disampaikan oleh ulama.
[Lihat Majmu’ Fatawa (XI/514 dan XX/209), Al-Mukhtasharul Hatsits (hal. 195), dan Mulia dengan Manhaj Salaf (hal. 302)]
Meskipun demikian, orang tersebut harus tetap berusaha menuntut ilmu syar’i dan tidak boleh merasa cukup dengan apa yang diperolehnya dari madzhab yang dia ikuti. Sehingga apabila dia mendapati pendapat lain yang lebih benar dari pendapat madzhab yang dia ikuti, wajib baginya untuk meninggalkan pendapat yang salah dan mengambil pendapat yang benar tersebut.
***
Islam ditegakkan di atas ilmu. Oleh karena itu dalam setiap pelaksanaan syari’at haruslah dilandasi dengan ilmu. Adapun taqlid, itu bukanlah ilmu, sehingga orang-orang yang taqlid tidak boleh mengatakan bahwa pendapat orang yang dia ikuti itu adalah pendapat yang paling benar, sampai dia mampu untuk melakukan pembuktian secara ilmiyah bahwa pendapat tersebut adalah benar.
Dengan demikian, wajib bagi seluruh manusia yang menginginkan keselamatan di dunia maupun di akhirat untuk senantiasa berpegang teguh kepada Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak menyelisihinya karena perkataan atau perbuatan manusia. Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling utama untuk diikuti dan petunjuknya adalah sebaik-baik petunjuk.
Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,
اتَّبِعُوا مَآأُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلاَتَتَّبِعُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَآءَۗ قَلِيلاً مَاتَذَكَّرُونَ ۝
Artinya: “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya).” (Qs. Al-A’raf: 3)
Pada ayat di atas, Allah telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk mengikuti apa yang telah diturunkan-Nya melalui perantara hamba-Nya, yakni Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Allah melarang kita untuk mengikuti perintah selain dari perintah-Nya.
Hendaknya orang-orang yang taqlid itu mengetahui sumber pengambilan hukum dari orang yang ditaqlidinya dalam rangka mengikuti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menghormati para ulama rahimahumullah. Dan barang siapa yang menganggap bahwa taqlid tanpa ilmu itu sebagai perbuatan baik maka ketahuilah, bahwa tidak ada kebaikan sama sekali dalam taqlidnya itu. Karena para ulama ber-Islam atas dasar ilmu dan ittiba’, bukan atas dasar ra’yu (pemikiran/persangkaan dengan akal) dan hawa nafsu semata.
والله تعالى أعلم
سبحانك اللهم وبحمدك أشهـد أن لا إله إلا أنت، استغـفـرك وأتوب إليك

***
Maraji’:
1. Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, Imam Abu Muhammad ‘Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm Azh-Zhahiri, cetakan Maktabah Athif, Kairo.
2. Al-Masa’il Jilid 3, Abdul Hakim bin Amir Abdat, cetakan Darus Sunnah, Jakarta.
3. Antara Taqlid dan Ittiba’, Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah, dimuat dalam Majalah Al-Furqon Edisi 2 Tahun V, Gresik.
4. I’lamul Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin Jilid 3 dan 4, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, cetakan Daar Ibnul Jauzi, Riyadh.
5. Jami Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi Jilid 1 dan 2, Abu ‘Umar Yusuf bin ‘Abdil Barr, cetakan Daar Ibnul Jauzi, Riyadh.
6. Kitabul ‘Ilmi, Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, cetakan Daar Tsuraya, Riyadh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar