Selasa, 31 Januari 2012

Mengenal al-Mashalih al-Mursalah (bagian 2)

C. Kehujjahan al-Mashalih al-Mursala1. Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama
Sebagai dalil syar’i, kehujjahan al-mashalih al-mursalah diperselisihkan oleh para ulama. Mengingat di beberapa referensi yang saya baca ada perbedaan penisbahan pendapat ulama tentang kehujjahan al-mashalih al-mursalah, maka untuk mempermudah saya hanya akan mengambil rujukan dari kitab “al-Mashalih al-Mursalah, Dirasah Tahliliyah wa Munaqasyah Fiqhiyah wa Ushuliyah ma’a Amtsilah Tathbiqiyah” karya Syaikh Mahmud ‘Abdul Karim Hasan.
Di kitab tersebut disebutkan bahwa ulama ada pendapat tentang hal ini, ada yang menerima kehujjahan al-mashalih al-mursalah dan ada yang menolak kehujjahannya. Mayoritas ulama menyatakan bahwa al-mashalih al-mursalah bukan dalil syar’i. Pendapat ini dinisbahkan kepada imam asy-Syafi’i, sebagaimana yang disebutkan oleh al-Amidi. Pendapat ini juga disandarkan kepada banyak ulama Syafi’iyah, misalnya al-Amidi, al-Ghazali dan ‘Izzuddin ibn ‘Abd as-Salam. Penyandaran ini juga bisa dilihat dari pernyataan yang masyhur dari asy-Syafi’i, yaitu “man istahsana faqad syarra’a”, dan istihsan yang tercela menurut asy-Syafi’i juga mencakup al-mashalih al-mursalah menurut kalangan Malikiyah. Artinya, pernyataan asy-Syafi’i tersebut menunjukkan asy-Syafi’i tegas menolak al-mashalih al-mursalah sebagai dalil.


Sebagian ulama madzhab Hanabilah juga menolak menggunakan al-mashalih al-mursalah sebagai hujjah, misalnya Ibn Qudamah al-Maqdisi dan Ibn Taimiyah. Ibn Taimiyah berkata, “sesungguhnya al-mashalih al-mursalah telah membuat syariat dalam agama dengan sesuatu yang tidak diizinkan”. Demikian pula, sebagian ulama Malikiyah juga menolak penggunaan al-mashalih al-mursalah, misalnya Ibn al-Hajib al-Maliki.
Pendapat yang menyatakan al-mashalih al-mursalah bukan dalil juga dinisbahkan pada kalangan Hanafiyah. Hal ini misalnya dikemukakan oleh Ibn Hamam ad-Diin al-Iskandari al-Hanafi, ia berkata, “dan bagian ini dinamakan al-mashalih al-mursalah, dan pendapat yang terpilih adalah menolaknya (sebagai hujjah)”. Al-mashalih al-mursalah juga tidak digunakan oleh madzhab Zhahiriyah dan Syi’ah Itsna ‘Asyariah.
Di masa sekarang, ulama yang menolak kehujjahan al-mashalih al-mursalah misalnya adalah syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Dr. Muhammad Husain ‘Abdullah dan syaikh ‘Atha Abu ar-Rasytah.
Sedangkan pendapat yang menerima al-mashalih al-mursalah sebagai dalil syar’i dinisbahkan kepada imam Malik[10]. Demikian pula, al-mashalih al-mursalah juga dianggap hujjah oleh ulama Malikiyah seperti asy-Syathibi dan al-Qarafi. Asy-Syathibi bahkan menyatakan bahwa imam Abu Hanifah dan imam asy-Syafi’i juga menggunakan al-mashalih al-mursalah, namun pernyataan ini bertentangan dengan yang disampaikan oleh al-Amidi. Dan yang tepat adalah Abu Hanifah dan asy-Syafi’i tidak menggunakan al-mashalih al-mursalah.
Di masa sekarang, banyak ulama yang menerima kehujjahan al-mashalih al-mursalah, mereka misalnya adalah Muhammad al-Khudhri Bek, Jad al-Haq ‘Ali Jad al-Haq, Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, ‘Abdul Karim Zaidan, ‘Abdul Wahhab Khallaf dan Muhammad Ibrahim al-Khafnawi. Al-Buthi bahkan menyatakan bahwa al-mashalih al-mursalah diterima berdasarkan kesepakatan shahabat, tabi’in, dan imam yang empat. Namun, syaikh Mahmud Abdul Karim Hasan membantah pernyataan tersebut.
2. Argumentasi Ulama yang Menolak al-Mashalih al-Mursalah
Ada beberapa argumentasi yang dikemukakan oleh para ulama yang menolak menggunakan al-mashalih al-mursalah sebagai dalil, diantaranya adalah[11]:
a) Mengambil al-mashalih al-mursalah akan membawa pada penetapan hukum syari’ah sekehendak hati dan berdasarkan hawa nafsu. Terdapat banyak nash yang melarang penggunaan al-mashalih al-mursalah sebagai dalil, diantaranya:
فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول
Artinya: “Jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu perkara, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (as-Sunnah).” [an-Nisaa’ ayat 59]
فلا وربك لا يؤمنون حتى يحكموك فيما شجر بينهم ثم لا يجدوا في أنفسهم حرجا مما قضيت ويسلموا تسليما
Artinya: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” [an-Nisaa’ ayat 65]
Menjadikan al-mashalih al-mursalah sebagai dalil berarti tidak kembali Allah dan Rasul, dan juga berarti tidak menjadikan Rasul sebagai hakim.
b) Islam adalah diin yang sempurna, sebagaimana firman Allah ta’ala:
اليوم أكملت لكم دينكم
Artinya: “Hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian.” [al-Maaidah ayat 3]
وأنزلنا عليك الكتاب تبيانا لكل شيء
Artinya: “Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu.” [an-Nahl ayat 89]
Dan menggunakan al-mashalih al-mursalah sebagai dalil berarti menunjukkan bahwa nash-nash syar’i masih kurang dan tidak sempurna.
c) Menggunakan al-mashalih al-mursalah berarti merujuk kepada akal, sedangkan akal pikiran setiap manusia berbeda-beda. Dan hukum yang lahir daripadanya tidak syar’i, karena ia menjadikan baik dan buruk atas pertimbangan akal, dan ini bertentangan dengan kewajiban untuk berhakim hanya kepada Allah, firman-Nya:
إن الحكم إلا لله
Artinya: “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” [al-An’aam ayat 57]
d) Menggunakan al-mashalih al-mursalah akan menyebabkan hukum syara’ bisa berubah-ubah mengikuti perubahan zaman, keadaan, tempat dan perbedaan orang-orang yang menerapkannya. Bisa jadi sesuatu itu haram –berdasarkan pertimbangan maslahat– menurut seseorang atau di suatu negeri, namun oleh orang lain atau di negeri lain hal itu boleh saja.
Ini bertentangan dengan prinsip Islam yang universal dan lestari sepanjang masa bagi umat Islam hingga hari kiamat.
e) Al-mashalih al-mursalah berada di tengah-tengah dua kutub, yaitu maslahat yang diakui oleh asy-Syari’ dan maslahat yang tidak diakui. Karena tidak diketahui apakah maslahat dalam al-mashalih al-mursalah ini diakui oleh asy-Syari’ atau tidak, maka tidak boleh berhujjah dengannya.
Al-Amidi berkata, “Al-mashalih al-mursalah diragukan keadaanya apakah termasuk maslahat yang diakui oleh asy-Syari’ atau yang tidak diakui. Dan mengutamakan salah satunya[12] tidak bisa dilakukan. Oleh karena itu berhujjah dengannya tidak bisa dilakukan, karena tidak ada petunjuk yang menyatakan bahwa ia termasuk maslahat yang diakui oleh asy-Syari’.”
f) Mengambil al-mashalih al-mursalah yang tidak didukung oleh nash syar’i akan menyebabkan lepasnya dari hukum-hukum syari’ah dan malah akan melahirkan kezaliman atas nama maslahat, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian penguasa yang zalim.
Ibn Taimiyah berkata: “Dari sisi maslahat, ia akan menghasilkan kekacauan yang besar dalam urusan agama. Banyak pemimpin dan ahli ibadah melihat suatu maslahat kemudian kemudian mengerjakannya atas dasar ini. Padahal diantara maslahat tersebut ada yang terlarang menurut syari’ah yang tidak mereka ketahui.”
3. Argumentasi Ulama yang Menggunakan al-Mashalih al-Mursalah
Ulama yang menggunakan al-mashalih al-mursalah sebagai dalil juga mempunyai argumentasi, diantaranya[13]:
a) Sesungguhnya kehidupan terus berkembang, dan cara manusia untuk memenuhi kemaslahatannya terus berubah di setiap zaman dan tempat. Jika hanya membatasi diri pada hukum-hukum yang telah diakui atau terdapat dalam nash, maka banyak sekali maslahat manusia yang akan terhalangi, dan pensyari’atan akan menjadi jumud. Hal ini akan melahirkan bahaya yang besar dan tidak sesuai dengan tujuan syari’ah yaitu mewujudkan maslahat dan menghilangkan mafsadat.
b) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima pernyataan Mu’adz ibn Jabal radhiyallahu ‘anhu ketika beliau mengutusnya ke Yaman, bahwa ia akan berijtihad dengan akal pikiran (ra’yu), jika hukumnya tak terdapat di Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.
c) Jika mengikuti ijtihad sebagian shahabat dan orang-orang setelah mereka, maka bisa ditemukan bahwa mereka berfatwa dalam banyak hal berdasarkan maslahat yang terpilih, tanpa membatasi diri hanya pada maslahat yang langsung diakui oleh nash. Dan kenyataan adanya ijtihad semacam ini tidak diingkari oleh satu orang pun di antara mereka.
Contoh ijtihad semacam ini misalnya adalah:
Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu mengumpulkan lembaran-lembaran al-Qur’an yang terpisah-pisah pada satu mushaf berdasarkan saran dari ‘Umar radhiyallahu ‘anhu. ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Demi Allah, sesungguhnya ini adalah kebaikan dan maslahat bagi Islam.”‘Umar radhiyallahu ‘anhu membatalkan bagian zakat bagi muallaf, padahal bagian zakat tersebut ada dalam nash. Hal ini dilakukan oleh beliau dengan alasan bahwa sudah tidak ada lagi hajat untuk melunakkan hati mereka (ta’lif quluubihim) setelah kejayaan Islam.‘Umar radhiyallahu ‘anhu juga menggugurkan (tidak melaksanakan) had untuk pencurian di masa paceklik, padahal nash-nash tentang had pencurian berlaku umum.Beliau juga menetapkan ucapan thalaq tiga yang diucapkan dalam satu waktu sebagai thalaq tiga, agar orang-orang tidak begitu mudah melakukannya.‘Utsman radhiyallahu ‘anhu menetapkan mushaf al-Qur’an hanya pada satu huruf[14], dan membaginya ke setiap negeri, kemudian beliau membakar mushaf-mushaf yang lain.
d) Sesungguhnya maslahat –jika bersesuaian dengan tujuan syari’ah–, maka mengambil maslahat tersebut akan sesuai dengan tujuan syari’ah dan mengabaikannya akan mengakibatkan terabaikannya tujuan syari’ah. Dan mengabaikan tujuan syari’ah adalah perkara batil dan tidak boleh dilakukan.
4. Syarat-Syarat Penggunaan al-Mashalih al-Mursalah Bagi Ulama yang Menggunakannya
Dr. Wahbah az-Zuhaili mengemukakan beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk bisa menggunakan al-mashalih al-mursalah, berikut syarat-syarat tersebut[15]:
a) Maslahat tersebut harus sesuai dengan tujuan syari’ah, tidak bertentangan dengan pokok-pokok syari’ah dan tidak berlawanan dengan nash atau dalil yang qath’i.
b) Maslahat tersebut harus bisa diterima oleh akal bahwa ia memang mengandung maslahat secara pasti, bukan hanya berupa dugaan apalagi sangkaan yang lemah. Artinya penerapan maslahat tersebut benar-benar harus menghasilkan manfaat dan menghindarkan dari bahaya.
Dari sini, tidak dibenarkan mencabut hak thalaq dari seorang suami dan menyerahkan hak tersebut kepada hakim. Ini karena hal tersebut bertentangan dengan nash, dan tidak ada maslahat yang benar-benar terwujud dari penerapan hal ini.
c) Maslahat yang dihasilkan dari penerapan al-mashalih al-mursalah ini harus berlaku umum untuk seluruh manusia, bukan hanya dirasakan oleh individu atau kelompok tertentu, hal ini karena hukum syara’ diterapkan untuk seluruh umat manusia. Dari sini, tidak sah penerapan kemaslahatan yang hanya berlaku bagi pemimpin, keluaga dan orang dekatnya saja.
Sebagai contoh, tidak boleh membunuh seorang muslim yang dijadikan perisai oleh orang kafir ketika bertempur dalam benteng, karena masih mungkin untuk mengepung orang kafir tersebut, dan tindakan orang kafir tersebut tak akan sampai membuat negeri muslim tertaklukkan.
D. Penutup
Perbedaan pendapat ulama terhadap kehujjahan al-mashalih al-mursalah ini paling tidak sudah sedikit menunjukkan kekayaan fiqih Islam, yang jika terus digali tentu kita akan tercengang dengan luasnya samudra kajian fiqih Islam tersebut.
Dari tulisan singkat saya ini, kita juga bisa melihat bahwa masing-masing pihak telah mengajukan berbagai argumentasi untuk menguatkan pendapat masing-masing, yang bagi orang awam tentu sulit untuk memilih dan menentukan argumentasi mana yang terkuat. Di sini, saya tidak mencoba men-tarjih pendapat mana yang terkuat dan pendapat mana yang lemah, karena untuk melakukan hal tersebut perlu keilmuan yang mencukupi dan energi yang luar biasa dikuras untuk mengkaji satu persatu argumentasi masing-masing pihak.
Semoga tulisan ini bermanfaat dan semakin menambah semangat kita untuk mengkaji fiqih Islam, baik ushul maupun furu’-nya.
*****
Daftar Pustaka
‘Abdullah, Muhammad Husain. 1995. Al-Wadhih fi Ushul al-Fiqh. ‘Amman: Dar al-Bayariq.
Al-Amidi, Abu al-Hasan. tt. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Beirut: al-Maktab al-Islami.
Al-Ghazali, Abu Hamid. tt. al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul. Madinah: Syirkah al-Madinah al-Munawwarah li ath-Thiba’ah.
Al-Ifriqi, Ibn Manzhur. 1414 H. Lisan al-‘Arab. Beirut: Dar Shadir.
Az-Zuhaili , Wahbah. 1986. Ushul al-Fiqh al-Islami. Damaskus: Dar al-Fikr.
Hasan, Mahmud ‘Abdul Karim. 1995. Al-Mashalih al-Mursalah, Dirasah Tahliliyah wa Munaqasyah Fiqhiyah wa Ushuliyah ma’a Amtsilah Tathbiqiyah. Beirut: Dar an-Nahdhah al-Islamiyah.
Khallaf, ‘Abdul Wahhab. tt. ‘Ilm Ushul al-Fiqh. Mesir: Maktabah ad-Da’wah al-Islamiyah.
Syarifuddin, Amir. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.


Catatan Kaki:
[9] Lihat al-Mashalih al-Mursalah, Dirasah Tahliliyah wa Munaqasyah Fiqhiyah wa Ushuliyah ma’a Amtsilah Tathbiqiyah karya Mahmud ‘Abdul Karim Hasan hal. 43-49.

[10] Al-Amidi berkata, “Jika shahih penukilan dari Imam Malik (bahwa beliau menggunakan al-mashalih al-mursalah), maka menurutku beliau tidak mengatakan hal tersebut untuk semua jenis maslahat, tapi hanya pada maslahat yang sifatnya dharuri, kulli dan pasti kemaslahatannya.” Lihat al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam karya al-Amidi, Juz 4 hal. 160.

[11] Lihat Ushul al-Fiqh al-Islami karya Dr. Wahbah az-Zuhaili Juz 2 hal. 761-762; al-Wadhih fi Ushul al-Fiqh karya Dr. Muhammad Husain ‘Abdullah hal. 158-159; al-Mashalih al-Mursalah, Dirasah Tahliliyah wa Munaqasyah Fiqhiyah wa Ushuliyah ma’a Amtsilah Tathbiqiyah karya Mahmud ‘Abdul Karim Hasan hal. 68-69; Ushul Fiqh karya Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin Jilid 2 hal. 361-362.

[12] Maksudnya mengambil kesimpulan bahwa maslahat yang ada adalah maslahat yang diakui oleh asy-Syari’. Hal ini tidak bisa dilakukan karena memang tidak ada petunjuk untuk mengarahkan pada kesimpulan tersebut.

[13] Lihat Ushul al-Fiqh al-Islami karya Dr. Wahbah az-Zuhaili Juz 2 hal. 762-764; al-Wadhih fi Ushul al-Fiqh karya Dr. Muhammad Husain ‘Abdullah hal. 155-156; al-Mashalih al-Mursalah, Dirasah Tahliliyah wa Munaqasyah Fiqhiyah wa Ushuliyah ma’a Amtsilah Tathbiqiyah karya Mahmud ‘Abdul Karim Hasan hal. 50-68; Ushul Fiqh karya Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin Jilid 2 hal. 360-361.

[14] Dalam kajian ‘ulumul Qur’an, disebutkan bahwa al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf. Untuk mendalami tema ini, silakan lihat kitab al-Manaar fii ‘Uluumil Qur’an karya Dr. Muhammad ‘Ali al-Hasan dan Mabaahits fii ‘Uluumil Qur’an karya Manna’ Khalil al-Qaththan.

[15] Lihat Ushul al-Fiqh al-Islami karya Dr. Wahbah az-Zuhaili Juz 2 hal. 799-800.


*****

Status Hadits “Tuntutlah Ilmu dari Buaian Sampai Liang Lahad” dan “Menuntut Ilmu itu Wajib bagi Setiap Muslim dan Muslimah”

Berikut penjelasan tentang 2 status hadits tersebut:


1. Tuntutlah Ilmu dari Buaian Sampai Liang Lahad (اطلبوا العلم من المهد الى اللحد)


Syaikh ‘Abdul Fattah Abu Ghuddah rahimahullah (‘ulama hadits kontemporer, lahir tahun 1336 H dan wafat tahun 1417 H) di kitab beliau Qimah az-Zaman ‘inda al-‘Ulama hal 30 (terbitan Maktab al-Mathbu’at al-Islamiyah, cetakan ke-10) menyatakan:


هذا الكلام : (طلب العلم من المهد الى اللحد) ويحكى أيضا بصيغة (اطلبوا العلم من المهد الى اللحد) : ليس بحديث نبوي ، وإنما هو من كلام الناس ، فلا تجوز إضافته إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم كما يتناقله بعضهم ، إذ لا ينسب إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم إلا ما قاله أو فعله أو أقره


Artinya: “Perkataan ini, yaitu ‘menuntut ilmu dari buaian sampai ke liang lahad’, dan disampaikan juga dengan ungkapan ‘tuntutlah ilmu dari buaian sampai liang lahad’, bukanlah hadits Nabi. Ia hanyalah perkataan manusia biasa, dan tidak boleh menyandarkannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang. Tidak ada yang boleh dinisbahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali perkataan, perbuatan dan persetujuan beliau.”


Diceritakan juga bahwa Syaikh Ibn Baz rahimahullah dalam sebuah kajian beliau pernah menyatakan status hadits ini, yaitu ليس له أصل, tidak ada asalnya. (saya menemukan cerita ini di

http://www.ahl-alsonah.com/vb/p1507.html dan http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=19129, keduanya diakses pada tanggal 30 Januari 2012)
Hal yang serupa juga dinyatakan oleh Markaz Fatwa situs islamweb.net. (http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=60804, diakses pada tanggal 30 Januari 2012)

Syaikh ‘Abdul Fattah Abu Ghuddah rahimahullah menyatakan bahwa ungkapan اطلبوا العلم من المهد الى اللحد ini maknanya benar, namun yang tidak boleh adalah menisbahkannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.


2. Menuntut Ilmu itu Wajib bagi Setiap Muslim dan Muslimah (طلب العلم فريضة على كل مسلم ومسلمة)


Hadits طلب العلم فريضة على كل مسلم, tanpa tambahan ومسلمة diriwayatkan melalui banyak jalur dan terdapat di banyak kitab, diantaranya dikeluarkan oleh Ibn Majah dalam Sunan-nya(1/81), al-Bazzar dalam Musnad-nya(1/164) (13/240) (14/45), ath-Thabrani dalam al-Mu’jam ash-Shaghir (1/36) (1/58), juga dikeluarkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath, al-Mu’jam al-Kabir dan Musnad asy-Syamiyin, dikeluarkan juga oleh al-Baihaqi dalam al-Madkhal ila as-Sunan al-Kubra (hadits no. 325, 326 dan 329).


‘Ulama berbeda pendapat tentang status hadits ini. Abu ‘Abdirrahman al-Albani rahimahullah dalam kitab Shahih at-Targhib wa at-Tarhib (1/17) dan Shahih wa Dha’if Sunan Ibn Majah (1/296) menyatakan hadits ini shahih. Dalam kitab Shahih wa Dha’if Sunan Ibn Majah (1/296), al-Albani mengutip hadits dari Ibn Majah:


حدثنا هشام بن عمار حدثنا حفص بن سليمان حدثنا كثير بن شنظير عن محمد ابن سيرين عن أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم طلب العلم فريضة على كل مسلم وواضع العلم عند غير أهله كمقلد الخنازير الجوهر واللؤلؤ والذهب


Kemudian beliau berkomentar: “shahih, tanpa tambahan وواضع العلم dan seterusnya, tambahan tersebut statusnya dha’if jiddan.”


Imam Muhammad ibn ‘Abdirrahman as-Sakhawi rahimahullah dalam kitab beliau al-Maqasid al-Hasanah (1/121) menyatakan:


حديث: اطلبوا العلم ولو بالصين، فإن طلب العلم فريضة على كل مسلم، البيهقي في الشعب، والخطيب في الرحلة وغيرها، وابن عبد البر في جامع العلم، والديلمي، كلهم من حديث أبي عاتكة طريف بن سلمان، وابن عبد البر وحده من حديث عبيد بن محمد عن ابن عيينة عن الزهري كلاهما عن أنس مرفوعا به، وهو ضعيف من الوجهين، بل قال ابن حبان: إنه باطل لا أصل له، وذكره ابن الجوزي في الموضوعات، وستأتي الجملة الثانية في الطاء معزوة لابن ماجه وغيره مع بيان حكمها


Artinya: “Hadits ‘tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina, karena sesungguhnya menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim’ disebutkan oleh al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab, al-Khathib dalam ar-Rihlah dan selainnya, Ibn ‘Abdil Barr di Jami al-‘Ilm, dan ad-Dailami. Seluruhnya meriwayatkan dari Abi ‘Atikah Tharib ibn Salman, dan Ibn ‘Abdil Barr sendiri meriwayatkan dari ‘Ubaid ibn Muhammad dari Ibn ‘Uyainah dan az-Zuhri. Keduanya dari Anas secara marfu’. Dan ia dha’if dari dua sisi. Bahkan Ibn Hibban berkata: ‘sesungguhnya ia batil, tidak ada asalnya’. Dan ibn al-Jauzi juga menyebutkannya dalam al-Maudhu’at. Dan nanti akan ada lagi di pembahasan huruf ‘tha’, dinisbahkan kepada Ibn Majah dan selainnya beserta penjelasan hukumnya.”


Dalam kitab yang sama (1/440), as-Sakhawi menyatakan:


حديث: طلب العلم فريضة على كل مسلم، ابن ماجه في سننه، وابن عبد البر في العلم له من حديث حفص بن سليمان عن كثير بن شنظير، عن محمد بن سيرين عن أنس به مرفوعا بزيادة: وواضع العلم عند غير أهله كمقلد الخنازير الجوهر واللؤلؤ والذهب، وحفص ضعيف جدا، بل اتهمه بعضهم بالكذب والوضع


Artinya: “Hadits ‘menuntut ilmu wajib atas setiap muslim’ disebutkan oleh Ibn Majah di Sunan-nya, Ibn ‘Abdil Barr dalam al-‘Ilm dari hadits Hafsh ibn Sulaiman, dari Katsir ibn Syinzir, dari Muhammad ibn Sirin, dari Anas secara marfu’, dengan tambahan وواضع العلم عند غير أهله كمقلد الخنازير الجوهر واللؤلؤ والذهب. Dan Hafsh dha’if jiddan, bahkan dituduh berdusta dan memalsukan hadits.”


As-Sakhawi (1/140) menjelaskan cukup panjang tentang hadits ini, bahwa ia juga diriwayatkan dari beberapa jalur lain, namun sebagian ulama mengatakan bahwa semua riwayat tersebut mengandung cacat, tidak bisa dijadikan hujjah. Hal ini misalnya disampaikan oleh Ibn ‘Abdil Barr dan al-Bazzar sebagaimana dikutip oleh as-Sakhawi.


Sedangkan untuk tambahan kata ومسلمة, as-Sakhawi mengatakan bahwa tambahan tersebut tidak pernah disebutkan dalam jalur-jalur periwayatan yang ada.


Bisa disimpulkan, kata ومسلمة hanya tambahan dalam hadits yang tidak ada asalnya. Sedangkan hadits طلب العلم فريضة على كل مسلم tanpa tambahan ومسلمة diperselisihkan ulama keshahihannya.


Wallahu a’lam bish shawwab.


*****

Kamis, 12 Januari 2012

Allah Heard Whoever Praised Him (Ahadith 761, 762, 764)

Salam,
Bismillah.

Narrated Abu Huraira:
When the Prophet said, "Sami' a-l-lahu Liman hamida," (Allah heard those who sent praises to Him), he would say, "Rabbana wa-laka-l-hamd." On bowing and raising his head from it the Prophet used to say Takbir. He also used to say Takbir on rising after the two prostrations. (See Hadith No. 656).

Sabtu, 07 Januari 2012

Importance of Good Niyya (Intention)


Login with Facebook there, on scribd.com, then you can also download this Booklet, In shaa Allah,

share it on facebook, to get more rewards, In shaa Allah


Siapakah Orang-Orang yang Beruntung?

Mari kita menengok dua kitab tafsir yang ditulis oleh ulama kontemporer, Tafsir al-Maraghi karya Syaikh Ahmad ibn Mushthafa al-Maraghi rahimahullah dan at-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj karya Syaikh Dr. Wahbah ibn Mushthafa az-Zuhaili hafizhahullah, pada surah al-Mu’minuun ayat 1 – 11. Dari ayat-ayat tersebut, akan jelas bagi kita siapakah orang-orang yang beruntung.

Definisi, Syarat-Syarat, Hukum dan Pembagian Hadits Mutawatir Menurut Syaikh Dr. Mahmud ath-Thahhan

Syaikh Dr. Mahmud ath-Thahhan dalam kitab beliau Taysir Mushthalah al-Hadits menyebutkan bahwa khabar atau hadits ditinjau dari sampainya khabar atau hadits tersebut kepada kita terbagi menjadi dua, yaitu khabar mutawatir dan khabar ahad.

Pembagian semacam ini merupakan pembagian yang sudah umum dikenal dalam kajian mushthalah hadits. Pembagian semacam ini, misalnya, juga tercantum dalam kitab Mushthalah al-Hadits karya Syaikh Muhammad ibn Shalih al-‘Utsaimin, salah satu rujukan utama salafi Saudi. Bahkan, pembagian semacam ini sudah tercantum di kitab al-Kifaayah fii ‘Ilm ar-Riwaayah karya al-Khathib al-Baghdadi (wafat 463 H), salah satu kitab awal dalam bidang mushthalah hadits.