Mari kita menengok dua kitab tafsir yang ditulis oleh ulama kontemporer, Tafsir al-Maraghi karya Syaikh Ahmad ibn Mushthafa al-Maraghi rahimahullah dan at-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj karya Syaikh Dr. Wahbah ibn Mushthafa az-Zuhaili hafizhahullah, pada surah al-Mu’minuun ayat 1 – 11. Dari ayat-ayat tersebut, akan jelas bagi kita siapakah orang-orang yang beruntung.
Menurut dua kitab tersebut –menjelaskan makna ayat di awal-awal surah al-Mu’minuun–, Allah ta’ala menetapkan tujuh sifat orang-orang yang beruntung. Berikut sifat-sifat tersebut beserta sedikit tambahan penjelasan dari saya untuk lebih mendekatkan pemahaman.
1. Beriman (قد أفلح المؤمنون)
Yaitu beriman kepada Allah ta’ala, Rasul-rasul-Nya dan hari akhir. Ini sifat pertama yang dimiliki oleh orang-orang yang beruntung, sekaligus menafikan keberuntungan hakiki bagi orang-orang yang tidak beriman kepada Allah ta’ala, Rasul-rasul-Nya dan hari akhir.
2. Khusyu’ dalam shalat (الذين هم في صلاتهم خاشعون)
Yaitu merendahkan diri di hadapan Allah ta’ala seraya merasa takut akan mendapat azab-Nya. Al-Hakim meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dengan mengangkat pandangannya ke langit, kemudian turun ayat ini, setelah itu Rasulullah mengalihkan pandangan beliau ke tempat sujud.
Khusyu’ adalah amalan hati dan tampak dari tenangnya anggota tubuhnya. Khusyu’ dalam shalat wajib hukumnya dilihat dari sisi:
a) Untuk mentadabburi apa yang ia baca, sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surah Muhammad ayat 24: {أفلا يتدبرون القرآن أم على قلوب أقفالها}.
b) Untuk mengingat Allah dan takut akan siksanya, sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surah Thaha ayat 14: {وأقم الصلاة لذكري}.
c) Orang yang shalat sedang ber-munajah dengan Tuhannya, dan orang yang lalai (tidak khusyu’) tidak bisa dikatakan sedang ber-munajah.
Khusyu’ dalam shalat, menurut mayoritas ulama, bukanlah syarat wajib dalam shalat dari sisi taklif hukum syara’, melainkan syarat untuk mendapatkan pahala dan mencapai ridha Allah ta’ala. Artinya, shalat yang tidak khusyu’ tetap sah, namun tidak berpahala.
3. Menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak berguna (والذين هم عن اللغو معرضون)
Yaitu meninggalkan segala hal yang haram, makruh, serta perkara-perkara mubah yang tidak ada kebaikan di dalamnya. Termasuk meninggalkan perkataan dusta, senda gurau yang berlebihan dan caci maki, serta meninggalkan seluruh kemaksiatan dan segala perkataan dan perbuatan yang tidak ada manfaatnya.
Hal ini sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surah al-Furqan ayat 72:
وإذا مروا باللغو مروا كراما
Artinya: “Dan jika mereka melewati orang-orang yang melakukan hal-hal yang tidak berguna, mereka berlalu saja (tak menghiraukan orang-orang yang melakukan hal-hal yang tidak berguna tersebut) dengan tetap menjaga kehormatan mereka.”
4. Menunaikan zakat (والذين هم للزكاة فاعلون)
Az-Zuhaili memaparkan bahwa ada perbedaan pendapat di kalangan mufassir memahami ayat ke-4 pada surah al-Mu’minuun ini, yaitu tentang pengertian الزكاة di ayat ini. Apakah yang dimaksud adalah zakat harta, padahal zakat harta baru diwajibkan di Madinah, sedangkan ayat ini makkiyah. Jika dipahami zakat harta, bisa jadi kewajiban zakat sudah ada sejak di Makkah, namun nishab dan batasan tertentunya baru ada di Madinah. Bisa juga maksudnya adalah zakah an-nafs (pembersihan diri) dari syirik dan berbagai kotoran. Bisa juga maksudnya adalah zakat harta sekaligus zakat an-nafs.
Bagaimanapun, pembersihan harta dengan zakat harta maupun pembersihan diri dari syirik dan kotoran (الدنس) merupakan kewajiban bagi seorang muslim.
5. Menjaga kemaluan (والذين هم لفروجهم حافظون إلا على أزواجهم أو ما ملكت أيمانهم فإنهم غير ملومي)
Yaitu menjaga kemaluannya dari yang haram, tidak melakukan dan tidak mendekati perbuatan yang haram tersebut, seperti perbuatan zina dan liwath. Mencukupkan diri dengan yang halal saja, yaitu istri yang telah dihalalkan oleh Allah melalui akad nikah (maksimal 4 orang), serta budak-budak yang dimiliki (catatan: saat ini budak sudah tidak ada lagi).
Barangsiapa yang mencukupkan diri dengan yang halal, maka tidak ada celaan dan dosa atasnya. Sebaliknya, siapapun yang mencari selain yang halal tersebut, maka ia telah melampaui batas dan melanggar hukum Allah, sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah ta’ala dalam surah al-Mu’minuun ayat 7:
فمن ابتغى وراء ذلك فأولئك هم العادون
Artinya: “Barangsiapa yang mencari selain yang halal tersebut, maka sesungguhnya mereka termasuk orang-orang yang melampaui batas.”
Menurut az-Zuhaili ayat di atas merupakan dalil atas haramnya mut’ah dan onani.
6. Menjaga amanah dan janji (والذين هم لأماناتهم وعهدهم راعون)
Yaitu jika diberi amanah tidak berkhianat, dan jika berjanji ditepati. Menunaikan amanah dan menepati janji merupakan sifat orang-orang yang beriman, sebaliknya sifat khianat dan suka melanggar janji merupakan sifat orang munafiq. Hal ini disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang diriwayatkan oleh Syaikhan, at-Tirmidzi dan an-Nasai dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berikut ini:
آية المنافق ثلاث: إذا حدث كذب، وإذا وعد أخلف، وإذا ائتمن خان
Artinya: “Ciri orang munafiq ada tiga: jika berbicara ia berdusta, jika berjanji ia melanggar, dan jika diberi amanah ia berkhianat.”
Juga sebagaimana firman Allah ta’ala dalam surah al-Anfaal ayat 27:
يا أيها الذين آمنوا لا تخونوا الله والرسول وتخونوا أماناتكم
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul, dan janganlah kalian mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepada kalian.”
Amanah dan janji yang dimaksud ini mencakup seluruh amanah dan janji yang dipercayakan kepada manusia, baik dari Tuhannya maupun dari sesama manusia, seperti pelaksanaan taklif-taklif syari’ah, titipan harta dan pelaksanaan berbagai akad.
7. Menjaga shalat (والذين هم على صلواتهم يحافظون)
Yaitu melaksanakannya dengan sebaik-baiknya, sempurna rukun dan syaratnya serta mengerjakannya sesuai waktunya. Diriwayatkan dalam Shahihayn, Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘يا رسول الله، أي العمل أحب إلى الله؟’, kemudian Rasulullah menjawab, ‘الصلاة على وقتها’, Ibn Mas’ud bertanya lagi, ‘kemudian apa?’, Rasulullah menjawab, ‘بر الوالدين’, Ibn Mas’ud bertanya lagi, ‘kemudian apa?’, Rasulullah menjawab, ‘الجهاد في سبيل الله’.
Allah subhanahu wa ta’ala membuka penyebutan sifat-sifat orang yang beruntung di surah al-Mu’minuun ini dengan shalat, dan menutupnya juga dengan shalat. Ini menunjukkan teramat besarnya keutamaan ibadah ini. Hal ini juga ditunjukkan oleh Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam riwayat Ahmad, Ibn Majah, al-Hakim, dan al-Baihaqi dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu berikut ini:
استقيموا ولن تحصوا، واعلموا أن خير أعمالكم الصلاة، ولا يحافظ على الصلاة إلا مؤمن
Artinya: “Istiqamahlah kalian, dan jangan menghitung-hitungnya, dan ketahuilah bahwa sebaik-baiknya amal kalian adalah shalat, dan tidak ada yang menjaga shalat kecuali seorang mukmin.”
Setelah menyebutkan sifat-sifat orang yang beruntung di atas, Allah ta’ala menyebutkan pahala untuk mereka, yang terekam dalam surah al-Mu’minuun ayat 10 dan 11.
أولئك هم الوارثون، الذين يرثون الفردوس هم فيها خالدون
Artinya: “Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, yaitu orang-orang yang mewarisi Firdaus, mereka kekal di dalamnya.”
Allah menetapkan balasan berupa surga Firdaus bagi orang-orang yang memiliki sifat-sifat terpuji yang telah disebutkan sebelumnya. Dalam Shahihayn, diriwayatkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang surga Firdaus:
إذا سألتم الله الجنة، فاسألوه الفردوس، فإنه أعلى الجنة وأوسط الجنة، ومنه تفجر أنهار الجنة، وفوقه عرش الرحمن
Artinya: “Jika kalian meminta balasan surga kepada Allah, maka mintalah Firdaus. Karena ia adalah surga yang tertinggi dan pusatnya surga, darinya terpancar sungai-sungai di surga, dan di atasnya adalah ‘arsy dari ar-Rahman.”
Subhanallah. Semoga Allah ta’ala memudahkan dan memberi taufiq kepada kita agar memiliki sifat-sifat yang terpuji di atas.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar