Anak, menurut definisi para ulama fikih adalah orang yang belum mencapai usia baligh. (al-Asybah wan Nadhair, as-Suyuthi, hal. 387)
Pertama, Anak yang sudah mencapai usia tamyiz
Jika anak sudah mencapai usia tamyiz, disyariatkan bagi walinya untuk memerintahkan anak agar datang ke masjid. Karena orang tua diperintahkan untuk menyuruh anaknya agar melakukan shalat setelah menginjak usia tamyiz. Berdasarkan hadis dari Sabrah radliallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مروا الصبي بالصلاة إذا بلغ سبع سنين. وإذا بلغ عشر سنين فاضربوه عليها
“Perintahkanlah anak untuk shalat jika sudah mencapai usia 7 tahun, dan jika sudah berusia 10 tahun, pukullah mereka (jika tidak mau diperintah) agar shalat melaksanakan shalat” (HR. Abu Daud, Turmudzi dan dinilai shahih al-Albani)
Hadis ini menunjukkan dua hal penting:
a. Bahwa wali (pengurus) anak kacil yang sudah tamyiz, baik bapaknya, kakeknya, kakaknya, atau orang yang mendapat wasiat untuk mengurusinya, mereka mendapatkan tugas dari syariat untuk memerintahkan anak kecil agar melaksanakan shalat, dan mengajarkan tata cara shalat yang sah, seperti syarat dan rukun shalat. Ini berlaku, baik untuk anak laki-laki maupun perempuan.
b. Hadis ini menunjukkan diziinkannya seorang anak untuk masuk masjid. Karena masjid merupakan tempat pelaksanaan shalat. Si pengurus anak, hendaknya membiasakan anak tersebut untuk sering ke masjid, menghadiri shalat jamaah, agar menimbulkan rasa cinta pada ibadah dan ketergantungan hati pada masjid.
Kedua, anak yang belum tamyiz
Ada banyak hadis yang menunjukkan bolehnya mengajak anak yang belum tamyiz ke masjid. Diantara dalil tersebut adalah
1. Hadis dari Abu Qotadah al-Anshari mengatakan
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يصلي وهو حامل أمامة بنت زينب بنت رسول الله صلى الله عليه وسلم ولأبي العاص بن ربيعة بن عبد شمس، فإذا سجد وضعها وإذا قام حملها
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat sambil menggendong Umamah binti Zainab binti Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam, putri dari Abul ‘Ash bin Rabi’ah. Apabila beliau sujud, beliau letakkan Umamah dan jika beliau berdiri, beliau menggendongnya.”
Dalam lafadz yang lain:
رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يؤم الناس، وأمامة بنت أبي العاص على عاتقه
“Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami jamaah, sementara Umamah binti Abil ‘Ash (cucu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) berada di gendongan beliau” (HR. Bukhari & Muslim)
Hadis ini memberikan 2 pelajaran penting
a. Bolehnya membawa bayi ke masjid, dan boleh menggendongnya ketika shalat, meskipun itu adalah shalat wajib. Karena ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggendong Umamah, beliau mengimami para sahabat.
b. Pakaian bayi dan badannya itu suci, selama tidak diketahui adanya najis. Anggapan bahwa orang yang hendak shalat tidak boleh menyentuh atau menggendong bayi, karena dimungkinkan ada najis di pakaiannya adalah anggapan yang tidak berdasar. Prinsip “ada kemungkinan” hanyalah sebatas keraguan yang tidak meyakinkan.
2. Hadis dari A’isyah radliallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat isya, hingga Umar datang memanggil beliau:
نَامَ النِّسَاءُ وَالصِّبْيَانُ
Wahai Rasulullah, para wanita dan anak-anak telah tidur. (HR. Bukhari)
Ada dua kesimpulan penting dari hadis ini:
a. Bolehnya mengajak anak ke masjid dan mengikuti shalat jamaah. Sebagaimana wanita juga boleh datang menghadiri jamaah. Terutama di waktu malam yang gelap, seperti shalat isya. Karena maksud pemberitaan Umar kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa wanita dan anak-anak yang menunggu jamaah shalat isya di masjid, telah tertidur. Inilah yang sesuai dengan makna teksnya. Tidak sebagaimana anggapan sebagian orang bahwa mereka tidur di rumah. Ini adalah anggapan yang tidak benar. Karena jika mereka tidur di rumah maka itu sudah menjadi hal biasa, sehingga tidak perlu orang semacam Umar radliallahu ‘anhu mengingatkan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Diantara ulama yang memahami bahwa tidurnya wanita dan anak-anak ini di masjid adalah Imam al-Bukhari. Hadis ini, beliau letakkan di bawah judul bab: tentang wudhunya anak kecil,… dan keterlibatan mereka dalam shalat jamaah, hari raya, shalat jenazah, dan shaf mereka. Ini menunjukkan bahwa Al Bukhari memahami dari hadis ini, anak-anak tersebut hadir di masjid.
b. Lafadz ’shibyan’ (arab: الصبيان ) pada hadis di atas, bentuknya jamak definitif (ada alif lam), sehingga mencakup umum, semua anak, baik besar maupun kecil.
Catatan:
Pertama, tidak boleh memindah anak kecil yang sudah menempati shaf
Jika ada anak kecil yang menempati shaf pertama, atau di belakang imam maka tidak boleh dipindah, terutama jika sudah tamyiz. Ini merupakan pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat ulama. Diantara alasan yang menguatkan hal ini adalah
a. Hadis dari Ibn Umar radliallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:
نهى النبي صلى الله عليه وسلم أن يقيم الرجل أخاه من مقعده ويجلس فيه
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang menyuruh pindah saudaranya yang duduk di tempat tertentu, kemudian dia menduduki tempat tersebut. (HR. Bukhari & Muslim)
Hadis ini merupakan larangan tegas untuk menyuruh orang pindah dari tempatnya, kemudian dia menduduki tempat tersebut. Dan anak yang sudah tamyiz masuk dalam hukum ini.
Al-Qurthubi mengatakan:
Larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyuruh orang lain pindah dari tempat duduknya, karena orang yang lebih dahulu menempati tempat tertentu, dia memiliki hak untuk duduk di tempat tersebut, sampai dia sendiri ingin pindah tanpa dipaksa setelah tujuannya selesai. Seolah-olah dia memiliki hak untuk memanfaatkan posisi tersebut, sehingga orang lain tidak boleh menghalangi dirinya untuk mendapatkan apa yang dia miliki. (al-Mufhim, 5/509)
b. Mengizinkan mereka untuk tetap berada di shaf akan memberikan motivasi kepada mereka untuk tetap shalat dan datang ke masjid.
Berbeda dengan anggapan sebagian orang bahwa anak kecil harus berada di belakang shaf orang dewasa. Anggapan semacam ini tidak sesuai denan kebiasaan para sahabat. Karena andaikan penataan shaf anak kecil harus selalu di belakang shaf orang dewasa, tentunya akan dinukil banyak riwayat dari sahabat dan menjadi satu hal yang dikenal banyak orang, sebagaimana posisi shaf wanita yang selalu di belakang. (Hasyiyah Ibn Qosim untuk ar-Raudhul Murbi’, 2/341)
Adapun, adanya beberapa riwayat dari sebagian sahabat yang memposisikan anak kecil di belakang maka dipahami dengan dua kemungkinan, pertama, itu merupakan pendapat pribadi beliau, atau kedua, karena anak itu tidak paham shalat yang baik, sehingga bergurau ketika shalat. (al-I’lam bi Fawaid Umdatil Ahkam karya Ibnul Mulaqin, 2/533)
Bagaimana dengan hadis dari Ibn Mas’ud radliallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:
ليلني منكم أولو الأحلام والنهى، ثم الذين يلونـهم، ثم الذين يلونـهم
“Hendaknya orang yang berada di belakangku adalah orang dewasa yang berakal, kemudian orang tingkatan berikutnya, kemudian berikutnya.” (HR. Muslim)
Hadis ini tidaklah melarang untuk menempati shaf pertama dan memposisikan mereka di shaf belakang. Hadis hanya menganjurkan agar para ‘ulul ahlam wan nuha‘ yaitu orang yang lebih pandai (dalam agama) untuk menempati shaf awal, berada di belakang imam. Sehingga bisa mengingatkan imam ketika lupa atau menggantikan posisi jika dia batal. Andaikan maksud hadis adalah melarang anak kecil untuk berada di depan, seharusnya lafadzkan: “Tidak boleh berada di belakangku kecuali ….” (as-Syarhul Mumthi’, 3/10)
Kedua, hadis dhaif yang melarang anak ke masjid
Sebagian orang yang berpendapat bahwa anak-anak tidak boleh masuk masjid, berdalil dengan hadis:
جنبوا مساجدكم صبيانكم
“Jauhkanlah masjid kalian dari anak kalian”
Hadis ini diriwayatkan Ibn Majah dan at-Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir dari jalur al-Harits bin Nabhan, dari Utbah bin Abi Said, dari Makhul, dari Watsilah bin al-Asqa’ radliallahu ‘anhu. Perawi yang bernama Harits statusnya sangat lemah. Berikut keterangan ulama tentang perowi ini:
Al-Bukhari mengatakan: “Munkarul hadis.”
Nasa’i dan Abu Hatim menilai orang ini dengan: “Matruk (ditinggalkan).”
Ibnu Main memberikan komentar untuk orang ini dengan mengatakan: “Laisa bi Syai’in” terkadang, beliau menyatakan: “Hadisnya tidak ditulis.”
Demikian beberapa keterangan yang disampaikan ad-Dzahabi dalam al-Mizan (1/444). Hadis ini memiliki beberapa jalur lain, namun tidak ada satupun yang shahih. Keterangan selengkapnya ada di Nashbur Rayah (2/491).
Ketiga, dibolehkan membuat shaf dengan anak kecil
Seseorang tidak boleh shalat sendirian di belakang shaf, sementara masih memungkinkan baginya untuk menempatkan diri pada barisan di depannya. Ini berdasarkan hadis dari Wabishah radliallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat ada seseorang yang shalat di belakang shaf sendirian. Kemudian beliau memerintahkan agar mengulangi shalatnya. (HR. Abu Daud dan dinilai shahih al-Albani)
Bagaimana jika membuat shaf bersama anak kecil, apakah sudah bisa dinyatakan telah keluar dari larangan hadis Wabishah di atas?
Dalam hal ini ulama berselisih pendapat. Akan tetapi pendapat yang kuat, dibolehkan untuk membuat shaf dengan anak kecil. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Diantara dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadis dari Anas bin Malik radliallahu ‘anhu, beliau menceritakan:
أن جدته مليكة – رضي الله عنها – دعت رسول الله صلى الله عليه وسلم لطعام صنعته، فأكل منه، فقال: قوموا فلأصل بكم ، فقمت إلى حصير لنا قد اسودّ من طول ما لبث فنضحته بماء، فقام رسول الله صلى الله عليه وسلم واليتيم معي، والعجوز من ورائنا، فصلى بنا ركعتين
Neneknya, Mulaikah radliallahu ‘anha, pernah mengundang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk makan di rumahnya. Setelah selesai makan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bersiaplah, mari saya imami kalian untuk shalat berjamaah.” Anas mengatakan: Kemudian aku siapkan tikar milik kami yang sudah hitam karena sudah usang, dan aku perciki dengan air. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dan ada anak yatim bersamaku (dalam satu shaf), dan wanita tua di belakang kami. Beliau mengimami shalat dua rakaat. (HR. Bukhari & Muslim)
Hadis ini dalil bolehnya orang yang sudah baligh membuat shaf dengan anak kecil. Karena Anas bin Malik radliallahu ‘anhu shalat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama seorang anak yatim. Sementara anak yatim adalah anak yang ditinggal mati bapaknya dan dia belum baligh.
Allahu a’lam
***
Disarikan dan disusun ulang dari risalah: Hudhurus Shibyan al-Masajida, karya Dr. Abdullah bin Sholeh al-Fauzan hafidzahullah (alfuzan.islamlight.net)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar