Selama ini, perbedaan madzhab fiqih sering menjadi pemantik konflik di tengah-tengah umat Islam, terutama di akar rumput. Ketidak mampuan untuk memahami dan memaklumi adanya perbedaan menyebabkan umat Islam sering bersitegang antar sesama, yang tentu hal tersebut lebih banyak berdampak negatif daripada positif. Umat Islam yang harusnya menjadikan saudaranya sesama muslim sebagai saudara[1], bahkan bagaikan satu bangunan yang masing-masing bagiannya saling menguatkan[2], pada faktanya malah sering menampakkan permusuhan dan kebencian.
Pada dasarnya, Islam sebagai agama yang sempurna dan satu-satunya yang diridhai oleh Allah ta’ala punya pandangan tersendiri tentang perbedaan pendapat. Jika perbedaan pendapat tersebut dalam perkara pokok-pokok aqidah[3] dan pokok-pokok-pokok syariah[4] maka pendapat yang menyalahi pendapat yang mu’tabar[5] tidak bisa diterima, bathil bahkan orang yang mengikuti pendapat tersebut bisa dikategorikan keluar dari Islam[6]. Sebaliknya, Islam menoleransi terjadinya perbedaan pendapat dalam perkara-perkara furu’. Terjadinya perbedaan pendapat dalam perkara furu’ bahkan sudah terjadi di masa shahabat, bahkan ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam masih ada[7].
Tulisan kali ini akan mencoba sedikit menggambarkan penyebab terjadinya perbedaan pendapat dalam perkara furu’ tersebut, khususnya dalam perkara fiqih[8], agar kita semua bisa memaklumi terjadinya perbedaan pendapat tersebut, sekaligus bisa memposisikan diri dengan tepat di tengah-tengah perbedaan pendapat tersebut.
Hubungan Fiqih dan Ushul Fiqih
Salah satu ilmu penting dalam kajian keislaman adalah ushul fiqih. Sebagaimana namanya, ushul fiqih merupakan pondasi untuk membangun fiqih. Fiqih tak akan bisa lahir tanpa adanya ushul fiqih[9]. Meskipun sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri, ushul fiqih baru dibukukan oleh Imam asy-Syafi’i rahimahullah (150 – 204 H)[10], namun ushul fiqih sebenarnya sudah ada sejak adanya fiqih tersebut, yaitu di masa awal Islam[11]. Pasca Imam asy-Syafi’i, kitab-kitab ushul fiqih banyak ditulis, sebagiannya untuk mendukung pendapat madzhab penulisnya. Kitab-kitab ushul fiqih tersebut ternyata tidak sama persis dengan ushul fiqih yang disusun oleh Imam asy-Syafi’i, baik perbedaannya banyak maupun sedikit.
Walaupun cukup jelas dan terang, bahwa dalam Islam, al-Qur’an dan as-Sunnah merupakan rujukan utama, termasuk jika terjadi perbedaan pendapat di antara kaum muslimin[12], namun dalam praktiknya menyatukan seluruh kaum muslimin dalam satu pendapat pada setiap perkara merupakan perkara yang sangat sulit bahkan bisa dikatakan hampir mustahil[13]. Apalagi sebagian ayat al-Qur’an dan as-Sunnah memang meniscayakan adanya perbedaan dalam memahami maknanya[14].
Di sisi lain, misalnya Imam asy-Syafi’i menjadikan al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas sebagai sumber untuk mengistinbath hukum syara’, sedangkan Imam Malik memasukkan ‘Amal Ahl al-Madinah, Qaul ash-Shahabi, Istihsan, Sadd adz-Dzara-i’, Mura’ah al-Khilaf, Istishhab, Mashalih Mursalah, dan Syar’un Man Qablana sebagai dalil dalam membangun madzhabnya selain al-Qur’an dan as-Sunnah.[15] Dalam ijma’ sendiri, ada yang hanya menerima ijma’ shahabat sebagai dalil syara’[16], ada juga yang menerima ijma’ seluruh mujtahid pada suatu masa tanpa membatasinya hanya di masa shahabat saja, ada juga yang menjadikan ijma’ penduduk Madinah sebagai dalil. Yang memahami hanya ijma’ shahabat yang bisa jadi dalil syara’, ia tidak akan berhujjah dengan ijma’ penduduk Madinah atau ijma’ seluruh mujtahid –selain shahabat– pada satu masa.[17] Perbedaan dalam sumber hukum syara’ ini tentu membuka peluang besar terjadinya perbedaan dalam penentuan hukum syara’ suatu perkara.
Dari penjelasan di atas, kita bisa memahami bahwa salah satu penyebab utama terjadinya perbedaan pendapat dalam fiqih di kalangan mujtahid adalah perbedaan ushul fiqih mereka.[18]
Menyikapi Perbedaan Fiqih Antar Mujtahid
Bagi seorang yang mampu berijtihad, ia dianjurkan menggali hukum dari nash secara langsung berdasarkan metodologi (ushul fiqih) yang ia adopsi[19]. Sedangkan bagi yang tidak mampu berijtihad, ia diwajibkan mengikuti hasil ijtihad seorang mujtahid, dan hasil ijtihad yang ia ikuti tersebut merupakan hukum syara’ baginya.[20]
Bagi seorang muqallid, jika menemukan dua pendapat berbeda dalam satu perkara fiqih, maka ia wajib memilih salah satu pendapat tersebut dan mengamalkannya. Karena muqallid adalah orang yang tidak mampu mengetahui dalil secara langsung, maka ia harus mengambil pendapat dari orang yang dianggapnya lebih mengetahui perkara tersebut, dan meninggalkan pendapat selainnya.[21]
Bisa disimpulkan, baik mujtahid maupun muqallid wajib mengikuti pendapat yang terkuat dalam setiap perkara fiqih, baik pendapat tersebut digalinya langsung dari nash, maupun hasil adopsinya terhadap pendapat orang lain. Baginya, pendapat yang terkuat itu adalah pendapat yang benar, sedangkan pendapat yang lain adalah pendapat yang keliru.
Lalu, bagaimana sikap yang benar terhadap orang-orang yang memiliki pendapat yang berbeda dengan kita dalam perkara fiqih (tentunya yang furu’i)? Imam asy-Syafi’i berkata, “Jika terdapat hadits yang shahih, maka lemparlah pendapatku ke dinding. Jika engkau melihat hujjah diletakkan di atas jalan, maka itulah pendapatku.”[22] Imam Malik ibn Anas berkata, “Sesungguhnya aku hanyalah manusia yang bisa keliru dan benar. Lihatlah setiap perkataanku, semua yang sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, maka ambillah. Sedangkan jika itu tidak sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, maka tinggalkanlah.”[23]
Para imam tersebut tidak menafikan dan mencela pendapat yang berbeda dengan pendapat mereka, bahkan jika pendapat selain pendapat mereka tersebut yang lebih sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, mereka bahkan menganjurkan untuk mengambilnya dan meninggalkan pendapat mereka. Jika para imam tersebut tidak mensakralkan pendapat mereka, maka mengapa pengikut-pengikutnya –terutama orang-orang yang awam di antara mereka– malah mensakralkan dan berlebih-lebihan dalam pembelaan mereka terhadap madzhab mereka?
Sikap yang harusnya dikembangkan dalam menyikapi perbedaan pendapat fiqih adalah dengan pernyataan, “Pendapat yang kami adopsi adalah pendapat yang benar, namun bisa jadi keliru. Sedangkan pendapat orang lain adalah pendapat yang keliru, namun bisa jadi benar.” Jika ingin mengetahui pendapat mana yang lebih kuat, jika mampu, silakan adakan diskusi dan debat ilmiah, namun jangan sampai perbedaan pendapat tersebut berujung pada konflik dan menumbuhkan sikap saling bermusuhan. Wal ‘iyaadzu billah.
Kesimpulan
Perbedaan fiqih dalam perkara furu’, salah satu penyebab utamanya adalah perbedaan para mujtahid dalam membangun pondasi (ushul) fiqihnya. Ushul fiqih yang berbeda membuka peluang terjadinya perbedaan pendapat di kalangan mujtahid, dan ini merupakan keniscayaan yang tak seharusnya disikapi secara negatif. Perbedaan pendapat ini malah, jika disikapi positif, akan meningkatkan gairah para penuntut ilmu untuk mengkaji secara serius dan mendalam pendapat mana yang terkuat dari berbagai pendapat yang ada.
Perbedaan fiqih ini juga tak seharusnya menimbulkan konflik tak produktif yang berujung pada saling membenci dan memusuhi antar penganut pendapat fiqih yang berbeda. Umat Islam harus semakin dewasa menyikapi perbedaan pendapat ini, selama perbedaan pendapat tersebut tak menyentuh pokok aqidah dan pokok syariah.
Wallahu a’lam bish shawwab.
Catatan Kaki:
[1] Pernyataan ini didukung oleh al-Qur’an surah al-Hujurat ayat 10, yaitu: إنما المؤمنون إخوة, lengkapnya: إنما المؤمنون إخوة فأصلحوا بين أخويكم واتقوا الله لعلكم ترحمون.
[2] Pernyataan ini didukung oleh hadits shahih yang sangat masyhur yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim dan yang lainnya, yaitu: المؤمن للمؤمن كالبنيان، يشد بعضه بعضا.
[3] Misalnya meyakini bahwa ‘Ali radhiyallahu ‘anhu adalah reinkarnasi Tuhan seperti pendapat sebagian kelompok Syi’ah, atau meyakini ada Nabi setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti doktrin kelompok Ahmadiyah.
[4] Misalnya meyakini bahwa shalat dan puasa tidak wajib hukumnya.
[5] Pokok aqidah dan pokok syariah dibangun dari dalil yang qath’i, baik tsubut maupun dilalah-nya, sehingga tidak wajar ada perbedaan pendapat dalam perkara ini.
[6] Silakan merujuk ke kitab Nizhamul Islam bab Thariqul Iman dan kitab asy-Syakhshiyyah al-Islamyiyah Juz 1 bab al-‘Aqidah al-Islamiyah, keduanya merupakan tulisan al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah.
[7] Misalnya tentang shalat di Bani Quraizhah. Dalam shahihain, disebutkan Rasulullah memerintahkan sekelompok shahabat ketika pulang dari perang Ahzab untuk tidak shalat ‘ashar (dalam shahih Muslim disebutkan shalat zhuhur) kecuali di wilayah Bani Quraizhah. Di perjalanan, para shahabat berselisih pendapat, ada yang akhirnya melaksanakan shalat sebelum tiba di Bani Quraizhah karena khawatir waktu shalat akan habis, ada juga yang tetap menunggu sampai tiba di Bani Quraizhah. Ketika mereka semua menyampaikan hal ini kepada Rasul, Rasul tak mencela pihak manapun.
[8] Ada juga ikhtilaf yang terjadi dalam perkara furu’ aqidah. Ini tidak kita bahas dalam tulisan ini.
[9] Dalam kitab Taysir al-Wushul ila al-Ushul karya Syaikh ‘Atha ibn Khalil Abu ar-Rasytah hafizhahullah, ushul fiqih didefinisikan sebagai القواعد التي يبتنى عليها العلم بالأحكام الشرعية العملية المستنبطة من أدلتها التفصيلية, sedangkan fiqih sendiri didefinisikan sebagai العلم بالأحكام الشرعية العملية المستنبطة من أدلتها التفصيلية. Dari definisi ini, cukup jelas bahwa fiqih tak mungkin lahir tanpa adanya ushul fiqih.
[10] Ar-Risalah karya Imam Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i rahimahullah diakui oleh para ulama sebagai kitab pertama yang membahas tentang ushul fiqih secara khusus. Dinamakan dengan ar-Risalah karena kitab ini merupakan surat (risalah) yang beliau kirim untuk ‘Abdurrahman ibn Mahdi rahimahullah. Bahkan, ada juga yang mengatakan kitab ar-Risalah bukan hanya kitab pertama dalam bidang ushul fiqih, namun juga kitab pertama dalam bidang ushul hadits. Silakan lihat muqaddimah kitab ar-Risalah yang ditahqiq oleh Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah.
[11] Ini misalnya bisa dilihat dari hadits tanya jawab Rasulullah dengan Mu’adz ibn Jabal radhiyallahu ‘anhu, saat Rasulullah mengutusnya menjadi gubernur di Yaman. Redaksi lengkap hadits tersebut adalah: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما أراد أن يبعث معاذا إلى اليمن قال: كيف تقضي إذا عرض لك قضاء؟ ، قال: أقضي بكتاب الله، قال: فإن لم تجد في كتاب الله؟ ، قال: فبسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم، قال: فإن لم تجد في سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم، ولا في كتاب الله؟ قال: أجتهد رأيي، ولا آلو فضرب رسول الله صلى الله عليه وسلم صدره، وقال: الحمد لله الذي وفق رسول، رسول الله لما يرضي رسول الله. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud rahimahullah. Hadits ini diperselisihkan keshahihannya. Hadits ini –jika diakui keshahihannya– paling tidak menunjukkan metode Mu’adz ibn Jabal radhiyallahu ‘anhu dalam memutuskan hukum. Dan metode semacam ini merupakan salah satu bagian dari kajian ushul fiqih di kemudian hari.
[12] Allah ta’ala berfirman dalam surah an-Nisa ayat 59: يا أيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر ذلك خير وأحسن تأويلا.
[13] Hal ini terjadi karena untuk memahami al-Qur’an dan as-Sunnah secara langsung, apalagi bagi orang-orang yang hidup jauh setelah masa hidupnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan merupakan perkara gampang. Banyak ketentuan yang harus diikuti serta kemampuan yang harus dimiliki sebelum seseorang bisa langsung merujuk kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Makanya, jumlah mujtahid –yaitu orang yang mampu meng-istinbath hukum syara’ secara langsung dari dalil-dalilnya– sepanjang sejarah peradaban Islam jumlahnya tidak terlalu banyak. Perbedaan kemampuan inilah yang melahirkan perbedaan metodologi ushul fiqih masing-masing mujtahid, dan selanjutnya melahirkan perbedaan kesimpulan fiqih masing-masing mujtahid.
[14] Ini misalnya dalam nash-nash yang dilalah-nya zhanni. Perbedaan ini, misalnya pada upaya memahami makna suatu kata yang disebutkan dalam nash, yang memang secara bahasa kata tersebut memiliki beberapa pilihan makna.
[15] Untuk mendalami hal ini, silakan merujuk ke muqaddimah kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu karya Syaikh Wahbah az-Zuhaili hafizhahullah.
[16] Yang jelas saya ketahui, ini adalah pendapat yang dikemukakan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah. Di buku Ushul Fiqih 1 tulisan Drs. Chaerul Uman, Dkk., terbitan Pustaka Setia, cetakan ke-10 tahun 2008, disebutkan bahwa asy-Syafi’i, Ahmad ibn Hanbal, Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim al-Jauziyah serta ulama kontemporer seperti Muhammad Abu Zahrah, al-Khudari Bek, Abdul Wahhab Khallaf, Fathi ad-Duraini dan Wahbah az-Zuhaili menyatakan bahwa ijma’ yang mungkin terjadi hanyalah di masa shahabat, karena para shahabat masih berada pada satu daerah, adapun pada masa sesudah mereka, tidak mungkin melakukan ijma’.
[17] Untuk mendalami hal ini, silakan merujuk kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam karya imam al-Amidi rahimahullah.
[18] Ada penyebab lainnya, namun dalam tulisan ini tidak dibahas.
[19] Sebenarnya, seorang mujtahid boleh mengikuti pendapat mujtahid lainnya dalam satu perkara, jika menurutnya pendapat mujtahid tersebut adalah pendapat yang layak diikuti. Ini misalnya pernah dilakukan oleh ‘Umar radhiyallahu ‘anhu yang mengikuti pendapat ‘Ali radhiyallahu ‘anhu dalam beberapa perkara. Untuk mendalami tema ini, silakan merujuk kitab asy-Syakhshiyyah al-Islamyiyah Juz 1 bab Waqi’ at-Taqlid.
[20] Muqallid wajib mengikuti hasil ijtihad seorang mujtahid selama ia percaya bahwa hasil ijtihad itu adalah hukum syara’ yang digali berdasarkan metode ijtihad yang syar’i. Jika suatu pendapat tidak digali berdasarkan metode ijtihad yang syar’i, maka seorang muslim tak boleh mengikuti pendapat tersebut. Untuk pendalaman hal ini, silakan merujuk kitab asy-Syakhshiyyah al-Islamyiyah Juz 1 bab al-Ijtihad wa at-Taqlid.
[21] Misalnya, jika seorang muqallid menganggap Imam asy-Syafi’i lebih ‘alim dan lebih wara’ dibanding mujtahid lain, maka ia wajib mengikuti pendapat Imam asy-Syafi’i. Atau, jika ia menganggap pendapat Imam Malik ibn Anas dalam perkara-perkara yang terjadi di Madinah lebih kuat dibanding mujtahid lain, maka ia wajib mengikuti pendapat Imam Malik dalam perkara-perkara tersebut. Silakan merujuk kitab asy-Syakhshiyyah al-Islamyiyah Juz 1 bab Waqi’ at-Taqlid.
[22] Dikutip dari kitab Majmu’ al-Fatawa, Juz 20 hal. 211 karya Syaikhul Islam Ibn Taimiyah rahimahullah. Redaksi arabnya: إذا صح الحديث فاضربوا بقولي الحائط وإذا رأيت الحجة موضوعة على الطريق فهي قولي.
[23] Dikutip dari kitab I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin karya Ibn al-Qayyim al-Jauziyah rahimahullah. Redaksi arabnya: إنما أنا بشر أخطئ وأصيب فانظروا في قولي فكل ما وافق الكتاب والسنة فخذوا به وما لم يوافق الكتاب والسنة فاتركوه.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar