Sabtu, 04 Februari 2012

Pembagian Khabar Berdasarkan Orang yang Disandarinya

Dalam kajian mushtalah al-Hadits, khabar terdiri dari sanad (السند) dan matan (المتن). Sanad adalah urutan periwayat khabar atau hadits, dari penulis kitab hadits sampai akhir sanad, yaitu orang yang bertemu langsung dengan orang yang disandarkan kepadanya khabar atau hadits tersebut. Sedangkan matan adalah perkataan, perbuatan, maupun taqrir dari orang yang disandarkan kepadanya khabar atau hadits. Nah, dari sisi siapa yang disandarkan kepadanya khabar, khabar dibagi menjadi empat macam. Berikut empat macam khabar tersebut.

1. Hadits Qudsi (الحديث القدسي)
Hadits qudsi adalah hadits yang disampaikan kepada kita, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang dari sanad beliau sampai kepada Rabb-nya ‘azza wa jalla. Berdasarkan definisi ini, hadits qudsi merupakan khabar yang disandarkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Walaupun mirip dengan al-Qur’an, karena penyandarannya sama-sama kepada Allah subhanahu wa ta’ala, namun hadits qudsi berbeda dengan al-Qur’an. Beberapa perbedaannya diantaranya: (1) al-Qur’an lafazh dan maknanya berasal dari Allah subhanahu wa ta’ala, sedangkan hadits qudsi maknanya saja yang berasal dari Allah subhanahu wa ta’ala; (2) membaca al-Qur’an merupakan ibadah, sedangkan membaca hadits qudsi tidak termasuk ibadah; (3) al-Qur’an disyaratkan sumbernya harus mutawatir, sedangkan hadits qudsi tidak disyaratkan.


Salah satu contoh hadits qudsi adalah hadits yang dikeluarkan Imam Muslim rahimahullah dalam kitab shahihnya, dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang meriwayatkan dari Allah subhanahu wa ta’ala bahwa Dia berfirman:
يا عبادي إني حرمت الظلم على نفسي وجعلته بينكم محرما فلا تظالموا
Artinya: “Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan kezhaliman terhadap diri-Ku, dan telah Kujadikan kezhaliman tersebut sebagai sesuatu yang terlarang di antara kalian, maka janganlah kalian saling berbuat zhalim…”
2. Marfu’ (المرفوع)
Marfu’ artinya sesuatu yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau. Berdasarkan definisi ini, khabar marfu’ merupakan khabar yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Khabar marfu’ inilah yang lazim disebut hadits nabawi.
Contoh khabar marfu’ misalnya adalah khabar yang dikeluarkan Imam Abu Dawud rahimahullah dari Ibn ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أبغض الحلال إلى الله تعالى الطلاق
Artinya: “Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah ta’ala adalah thalaq.”
3. Mauquf (الموقوف)
Mauquf artinya sesuatu yang disandarkan kepada para shahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir. Berdasarkan definisi ini, khabar mauquf merupakan khabar yang disandarkan kepada seorang shahabat ridhwanullahi ‘alaihim ajma’in.
Contoh khabar mauquf adalah khabar yang dikeluarkan Imam al-Bukhari rahimahullah, tentang perkataan seorang rawi, bahwa ‘Ali ibn Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:
حدثوا الناس بما يعرفون ، أتريدون أن يكذب الله ورسوله
Artinya: “Ceritakanlah kepada manusia sesuatu yang mereka ketahui. Apakah kalian ingin Allah dan Rasul-Nya didustakan?”
Ada kondisi tertentu, di mana secara lafazh maupun bentuknya, sebuah khabar sebenarnya adalah khabar mauquf. Namun, para pengkaji hadits melihat bahwa hakikatnya khabar tersebut merupakan hadits marfu’. Oleh karenanya para ‘ulama menyebutnya dengan marfu’ hukman (المرفوع حكما), maksudnya, secara lafazh memang mauquf, namun secara hukum marfu’. Beberapa gambarannya adalah:
a) Shahabat mengatakan –tidak diketahui bahwa hal itu diambil dari ahli kitab– suatu perkataan yang bukan menjadi obyek ijtihad, tidak berkaitan dengan penjelasan bahasa, atau penjelasan tentang gharib­-nya (keterasingannya). Misalnya keterangan tentang awal mula penciptaan, keadaan pada hari kiamat, maupun keterangan tentang pahala atau balasan tertentu yang diperoleh karena mengerjakan suatu perbuatan.
b) Shahabat melakukan suatu perbuatan yang bukan merupakan obyek ijtihad. Misalnya shalat kusuf (gerhana matahari)-nya para shahabat, yang di setiap raka’atnya terdiri dari lebih dua kali ruku’.
c) Shahabat memberitakan bahwa mereka telah mengucapkan sesuatu, atau mengerjakan sesuatu, atau melihat sesuatu perbuatan dan membiarkannya. Jika disandarkan kepada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka khabar tersebut merupakan marfu’ hukman, seperti khabar riwayat al-Bukhari dan Muslim berikut ini:
كنا نعزل على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم
Artinya: “Kami melakukan ‘azl pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Namun, jika tidak disandarkan pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, menurut mayoritas ‘ulama khabarnya mauquf.
d) Shahabat mengatakan, “Kami diperintahkan begini dan begini…” atau, “Kami dilarang begini dan begini…”, seperti perkataan sebagian shahabat yang diriwayatkan al-Bukhari berikut ini:
أمر بلال أن يشفع الأذان و يوتر الإقامة
Artinya: “Bilal diperintahkan untuk menggenapkan adzan dan mengganjilkan iqamah.”
e) Rawi mengatakan dalam haditsnya, tatkala menyebut-nyebut shahabat, empat kata berikut ini: yarfa’uhu (يرفعه), yanmihi (ينميه), yablughu bih (يبلغ به), riwayatan (رواية). Seperti hadits al-A’raj yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayatan (suatu riwayat):
تقاتلون قوما صغار الأعين
Artinya: “Kalian akan memerangi suatu kaum yang perawakannya kecil.”
f) Shahabat menafsirkan sesuatu yang berhubungan dengan sebab turunnya ayat. Misalnya perkataan Jabir radhiyallahu ‘anhu dalam riwayat Muslim:
كانت اليهود تقول من أتى امرأته من دبرها في قبلها جاء الولد أحول
Artinya: “Orang-orang Yahudi berkata, barangsiapa yang mendatangi wanita dari bagian duburnya, maka anak yang akan dilahirkannya bermata juling.”
Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan surah al-Baqarah ayat 223.
Enam gambaran di atas, walaupun secara lafazh mauquf, namun hukumnya marfu’, sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Khabar mauquf tidak bisa dijadikan hujjah, walaupun sanadnya shahih, karena ia hanya perkataan dan perbuatan shahabat. Namun, khabar mauquf ini bisa digunakan untuk memperkuat hadits-hadits dha’if mursal (hadits yang terputus sanadnya setelah tabi’in), karena shahabat hanya melakukan perbuatan berdasarkan sunnah.
4. Maqthu’ (المقطوع)
Maqthu’ artinya sesuatu yang disandarkan kepada tabi’in atau pun selain mereka, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Berdasarkan definisi ini, khabar maqthu’ merupakan khabar yang disandarkan kepada tabi’in, tabi’ut tabi’in atau selainnya.
Salah satu contoh khabar maqthu’ adalah perkataan Hasan al-Bashri rahimahullah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari mengenai shalat di belakang pembuat bid’ah:
صل وعليه بدعته
Artinya: “Shalat saja, dan bid’ahnya adalah untuknya sendiri.”
Khabar maqthu’ tidak bisa dijadikan hujjah dalam masalah syari’ah, walaupun sanadnya shahih, karena ia hanya merupakan perkataan atau perbuatan salah seorang muslim.
***
Pembahasan tentang pembagian khabar berdasarkan orang yang disandarinya ini tidak berhubungan dengan pembahasan shahih atau tidaknya khabar tersebut. Keduanya merupakan pembahasan yang terpisah. Pembahasan tentang pembagian khabar berdasarkan orang yang disandarinya ini, hanyalah untuk mengetahui kepada siapa sebuah khabar disandarkan atau dinisbahkan.
Semoga bermanfaat.
[Rujukan: Taysir Mushthalah al-Hadits karya Dr. Mahmud ath-Thahhan, dengan sedikit pengembangan dari saya)

*****



Tidak ada komentar:

Posting Komentar