Sabtu, 04 Februari 2012

Haruskah Kita Bangga Menjadi Orang Indonesia?

Manusia secara keseluruhan merupakan keturunan dari bapak dan ibu yang sama, Adam dan Hawa. Allah kemudian menjadikan bani Adam bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, untuk saling mengenal, bukan untuk saling membanggakan suku, bangsa ataupun ras masing-masing. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam surah al-Hujuraat ayat 13:

يا أيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا إن أكرمكم عند الله أتقاكم إن الله عليم خبير
Artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Ibn Katsir rahimahullah, dalam kitab tafsir beliau, berkomentar tentang ayat ini, “Allah ta’ala berfirman sebagai pemberitahuan kepada manusia bahwa Dia menciptakan manusia dari satu orang, kemudian Dia ciptakan pasangannya, yaitu Adam dan Hawa.”


Dr. Wahbah az-Zuhaili hafizhahullah, salah seorang faqih abad ini, dalam kitab tafsir beliau, memaparkan bahwa ayat ini merupakan ayat yang menjelaskan persamaan kedudukan seluruh manusia, tak ada keunggulan nasab (suku, bangsa, ras) salah seorang di antara mereka dibandingkan yang lain, karena seluruh manusia berasal dari bapak dan ibu yang sama. Beliau juga menjelaskan bahwa diciptakannya manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah untuk saling mengenal, bukan untuk saling membanggakan nasab.
Ibn Katsir, Dr. Wahbah az-Zuhaili dan mufassir lainnya sepakat bahwa ukuran keutamaan seseorang dibandingkan yang lain adalah dari sisi ketaqwaannya kepada Allah ta’ala, bukan karena suku, bangsa, dan nenek moyangnya. Sepakatnya mereka –rahimahumullah– sangat wajar, karena redaksi ayat ini sangat jelas.
Ayat ini saja sudah cukup menjadi hujjah untuk menunjukkan kekeliruan sebagian orang yang begitu membanggakan ke-Indonesia-annya. Indonesia –jika dimaknai sebagai sebuah bangsa– tak lebih mulia dibandingkan bangsa Malaysia, China, Arab, Turki, Iran, Eropa maupun bangsa-bangsa lain.
***
Jika Indonesia dimaknai sebagai sebuah negara, maka kita perlu lihat dulu, apakah negara Indonesia merupakan negara yang diberkahi Allah ta’ala, negara yang menerapkan syari’ah-Nya, atau malah sebaliknya. Faktanya, Indonesia sudah memproklamirkan diri menjadi negara sekuler, negara yang mengerdilkan peran agama, khususnya diinul Islam. Islam yang punya aturan bagi seluruh sisi kehidupan, tak diberi ruang untuk diterapkan, kecuali hanya di sebagian kecil bagian kehidupan, semacam ibadah ritual dan pernikahan. Sebagian besarnya dicampakkan. Bahkan anak bangsa yang menyerukan penerapan syari’ah Islam, dicurigai dan dituduh sebagai teroris atau minimal menginspirasi terorisme. Membanggakan negara semacam ini tidaklah bisa diterima. Allah ta’ala berfirman dalam surah an-Nisaa ayat 60:
ألم تر إلى الذين يزعمون أنهم آمنوا بما أنزل إليك وما أنزل من قبلك يريدون أن يتحاكموا إلى الطاغوت وقد أمروا أن يكفروا به ويريد الشيطان أن يضلهم ضلالا بعيدا
Artinya: “Apakah engkau tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman terhadap apa yang diturunkan kepadamu dan yang diturunkan sebelummu? Mereka ingin berhukum kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut tersebut. Dan syaithan ingin menyesatkan mereka sesesat-sesatnya.”
Ibn Jarir Ath-Thabari rahimahullah menyebutkan bahwa sababun nuzul ayat ini adalah tentang sengketa antara seorang munafik (zhahirnya muslim, namun sebenarnya kafir) dan seorang Yahudi. Si munafik ingin menyerahkan urusan mereka berdua kepada kepada kalangan Yahudi, karena mereka biasa menerima suap. Sedangkan si Yahudi ingin menyerahkan urusan mereka kepada kaum muslimin, karena mereka tak menerima suap. Akhirnya mereka berdua sepakat menyerahkan urusan mereka kepada seorang dukun dari Juhainah.
Ibn Katsir rahimahullah menyatakan bahwa ayat ini secara umum menunjukkan celaan kepada siapapun yang menyimpang dari al-Kitab dan as-Sunnah, serta menyerahkan penyelesaian perkaranya kepada selain keduanya yang jelas-jelas bathil.
Dr. Wahbah az-Zuhaili hafizhahullah menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan kewajiban setiap muslim untuk menerapkan hukum-hukum yang termaktub dalam al-Qur’an dan as-Sunnah jika nash-nya jelas. Jika satu perkara tidak disebutkan dalam wahyu, maka harus mengikuti pendapat mujtahid berdasarkan istinbath mereka terhadap kaidah-kaidah Syari’ah yang umum. Beliau juga menegaskan, bahwa orang yang secara sengaja berpaling dari hukum Allah dan hukum Rasul-Nya, maka ia adalah seorang munafik.
Indonesia –sebagai negara– telah berpaling dari hukum Allah dan hukum Rasul-Nya, dan memilih hukum buatan manusia yang jauh dari petunjuk Allah ta’ala. Negara semacam ini tak layak kita banggakan. Yang harusnya kita lakukan adalah mengubah negara ini menjadi negara yang menerapkan syari’ah Islam secara kaffah, melindungi aqidah umat, dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.
***
Nyatanya, ide nasionalisme-lah yang menyesatkan pemikiran anak negeri ini. Dengan alasan nasionalisme, mereka saling ejek dengan saudara muslim mereka di Malaysia, bahkan sampai ada ancaman ganyang-mengganyang. Gara-gara nasionalisme, hampir seluruh mata anak negeri ini memelototi layar kaca untuk menonton pertandingan sepakbola Sea Games antara Indonesia vs Malaysia, padahal secara teknis pertandingan dua negara ini tidaklah terlalu menarik. Gara-gara nasionalisme, muslim di negeri ini tak peduli dengan nasib saudara mereka di Palestina, Irak, Afghanistan, dan negeri-negeri kaum muslimin lainnya yang membutuhkan pertolongan. Gara-gara nasionalisme, ikatan aqidah dianggap tak penting bila dibandingkan ikatan darah. Bahkan, gara-gara nasionalisme, sampai-sampai ada wacana mempatenkan fiqih Indonesia yang berbeda dengan fiqih Arab (?).
Namun anehnya, ketika Barack Obama datang ke Indonesia untuk memastikan kepentingan negaranya di Indonesia dan Asia Pasifik tetap aman terkendali, untuk memastikan kacung-nya di negeri ini tetap nurut, semangat nasionalisme anak bangsa ini tak muncul. Mereka manut saja ketika Obama berupaya melanggengkan penjajahan atas negeri ini, tak ada perlawanan.
Anak bangsa ini pun tak kelihatan nasionalismenya ketika emas, minyak dan gas bumi, serta kekayaan alam negeri ini lainnya dikeruk habis-habisan oleh perusahaan asing. Mereka santai-santai saja ketika Freeport setiap hari mengeruk emas di tanah Papua, sedangkan ExxonMobil melahap minyak dan gas bumi di blok Cepu dan blok Natuna. Mereka santai-santai saja melihat kekayaan alam negerinya diangkut ke luar negeri, sedangkan mayoritas rakyat negeri ini hidup serba kekurangan. Inilah absurdnya nasionalisme.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah di kitab beliau ad-Daulah al-Islamiyah telah menjelaskan bahwa ide nasionalisme ditanamkan secara paksa di benak kaum muslimin oleh imperialis Barat. Ide nasionalisme sejatinya bukan berasal dari Islam, dan bertentangan dengan Islam. Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan sebuah hadits di kitab Shahih-nya:
من قتل تحت راية عمية، يدعو عصبية، أو ينصر عصبية، فقتلة جاهلية
Artinya: “Siapa saja yang terbunuh di bawah bendera fanatisme buta, menyeru kepada ‘ashabiyah, atau menolong karena ‘ashabiyah, maka matinya adalah seperti mati jahiliyah.”
Tentang definisi ‘ashabiyah, kita bisa merujuk ke hadits Imam Abu Dawud rahimahullah di bawah ini:
عن بنت واثلة بن الأسقع، أنها سمعت أباها، يقول: قلت: يا رسول الله، ما العصبية؟ قال: أن تعين قومك على الظلم
Artinya: “Dari bintu Waatsilah ibn al-Asqa’, sesungguhnya dia mendengar ayahnya bercerita, ‘Aku bertanya kepada Rasulullah, ‘Wahai Rasulullah, apakah ‘ashabiyah itu?’ Rasulullah menjawab, ‘engkau membantu kaummu atas kezhaliman mereka.’”
Walaupun hadits di atas dipertanyakan keshahihannya isnad-nya, namun isinya bersesuaian dengan hadits-hadits shahih. Dari hadits di atas, kita temukan definisi ‘ashabiyah, yaitu membantu kaum atau kelompok dalam kezhaliman mereka. Maksudnya, tak peduli kaum atau kelompoknya benar atau salah, akan selalu dibela. Inilah nasionalisme. Nasionalisme adalah salah satu bentuk ‘ashabiyah yang sangat nyata.
Nasionalisme telah berhasil memecah belah Khilafah ‘Utsmaniyah. Barat berhasil memancing sentimen Arab, Turki dan Persia, hingga akhirnya ikatan aqidah luntur digantikan ikatan nasionalisme yang absurd. Setelahnya bisa diketahui sendiri, Khilafah dihapuskan dari muka bumi oleh agen Inggris, Attaturk laa Mushthafa laa Kamal. Dan saat ini, musuh-musuh Islam tahu bahwa salah satu hal yang mampu menahan laju kebangkitan kembali umat Islam adalah ide nasionalisme. Maka, ide tersebut akan terus diupayakan langgeng dan bertahan di negeri-negeri kaum muslimin. Sebagai catatan, sebagaimana ide-ide lain yang dipaksakan oleh Barat, ide nasionalisme tak akan pernah diizinkan mengganggu kepentingan Barat, makanya di Papua dan Blok Cepu, nasionalisme tak berlaku.
***
Ide nasionalisme adalah ide yang absurd. Hanya orang-orang yang tak mau berpikir saja yang masih tetap mempertahankannya. Karena ide nasionalisme adalah ide yang absurd, ide turunannya seperti kebanggaan menjadi bagian dari bangsa Indonesia juga absurd. Menjadi bangsa Indonesia adalah ketetapan Allah, sebagaimana Dia menentukan saudara muslim kita yang lain lahir di tanah Arab, di Turki, atau di Afrika. Tak ada kelebihan pada bangsa Indonesia dibandingkan bangsa lain yang bisa dibanggakan. Begitu pula, tak ada kelebihan bangsa lain dibandingkan bangsa Indonesia.
Daripada berbangga-bangga sebagai orang Indonesia, lebih baik kita turut serta dalam perjuangan memperbaiki bangsa dan negeri ini. Menjadikan negeri ini negeri yang berlimpah berkah dari Allah ta’ala, dengan menerapkan syari’ah-Nya secara keseluruhan dan mencampakkan berbagai aturan yang bertentangan dengan syari’ah-Nya. Inilah tugas kita.

*****



Tidak ada komentar:

Posting Komentar