Sabtu, 04 Februari 2012

Mengenal Israiliyyat

railiyyat merupakan salah satu sumber rujukan yang digunakan oleh sebagian mufassir untuk menafsirkan al-Qur’an. Israiliyyat muncul setelah masuk Islamnya sebagian Ahlul Kitab, yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani, terutama orang-orang yang ‘alim di antara mereka. Walaupun mereka telah masuk Islam, mereka masih tetap memegang pengetahuan yang mereka dapatkan dari kitab mereka sebelumnya, yaitu Taurat dan Injil.


Sebagaimana kita ketahui, salah satu kandungan al-Qur’an adalah cerita para Nabi sebelum Nabi Muhammad shalllallahu ‘alaihi wa sallam dan kisah umat terdahulu. Namun, dalam al-Qur’an cerita tersebut hanya dikemukakan secara singkat dengan menitikberatkan pada aspek-aspek nasihat dan pelajaran, tidak menceritakannya secara rinci dan detil. Sedangkan Taurat dan Injil mengemukakannya secara panjang lebar dengan menjelaskan rincian dan bagian-bagiannya.


Setelah sebagian Ahlul Kitab masuk Islam, terutama orang-orang yang ‘alim di antara mereka, mereka membawa serta pengetahuan mereka tentang berbagai cerita Nabi dan umat terdahulu. Di saat membaca cerita Nabi dan umat terdahulu dalam al-Qur’an, terkadang mereka memaparkan rincian cerita tersebut yang terdapat dalam Taurat dan Injil.


Cerita-cerita dari Ahlul Kitab yang telah masuk Islam inilah yang dikenal dengan istilah Israiliyyat. Israiliyyat sudah muncul di masa shahabat dan kemudian semakin banyak setelah generasi mereka. Israiliyyat lebih banyak bersumber dari Yahudi, bukan Nasrani, karena pasca Hijrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah, umat Islam lebih banyak bersinggungan dengan Yahudi yang sudah lama menetap di sana.


Orang yang paling banyak menceritakan Israiliyyat di masa shahabat adalah Ka’ab al-Ahbar, Wahab ibn Munabbih, dan ‘Abdullah ibn Salam.


***


Menurut al-Hafizh Ibn Katsir, Israiliyyat terbagi menjadi tiga macam, yaitu:


1. Yang diketahui keshahihannya berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Israiliyyat seperti ini shahih.


2. Yang diketahui kedustaannya berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Israiliyyat seperti ini tidak bisa diterima.


3. Yang maskut ‘anhu (didiamkan). Untuk bagian yang ke-3 ini, kita tidak boleh meyakini kebenarannya dan juga tidak mendustakannya. Hal ini memang karena tidak ada keterangannya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Misalnya, penyebutan jumlah dan nama-nama Ashhabul Kahfi serta warna anjing mereka, tongkat Nabi Musa ‘alaihis alam terbuat dari apa, nama burung yang dihidupkan oleh Allah di hadapan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, penetapan tubuh sapi bagian mana yang dipukulkan kepada orang yang terbunuh, dan lain-lain. Pada dasarnya, hal-hal ini tidak berhubungan dengan taklif syara’, dan tidak ada gunanya untuk diketahui kebenarannya.


Dengan pembagian yang dilakukan oleh Ibn Katsir di atas, kita bisa memahami kedudukan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berkaitan dengan Israiliyyat. Misalnya hadits yang dikeluarkan oleh Imam al-Bukhari dari Ibn ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:


بلغوا عني ولو آية وحدثوا عن بني إسرائيل ولا حرج، ومن كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار


Artinya: “Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat, dan ceritakanlah cerita-cerita dari Bani Israil dan tidak ada dosa. Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.” [Diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad dan at-Tirmidzi]


Tentu yang dimaksud oleh Hadits di atas adalah Israiliyyat yang sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:


لا تصدقوا أهل الكتاب ولا تكذبوهم وقولوا آمنا بالله وما أنزل


Artinya: “Janganlah kalian membenarkan Ahlul Kitab, dan jangan juga mendustakan mereka. Katakanlah: kami beriman kepada Allah dan apa-apa yang Dia turunkan.” [Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari]


Al-Khaththabi memberikan penjelasan tentang hadits di atas dan hadits-hadits semisal sebagai berikut:


“Tidak ada larangan untuk mendustakan mereka jika terdapat nash yang bertentangan dengannya, dan juga tidak ada larangan untuk membenarkan mereka dalam hal-hal yang ada nash syara’ yang sesuai dengannya. Hadis ini, yaitu janganlah kalian membenarkan dan jangan mendustakan, adalah dasar wajibnya tawaqquf (diam) terhadap perkara-perkara yang meragukan, yang belum diketahui apakah shahih atau batil, dan tidak diketahui pula halal dan haramnya. Sungguh kita telah diperintahkan untuk beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan kepada para Nabi ‘alaihimus salam, hanya saja tidak ada jalan bagi kita untuk mengetahui mana yang shahih dan mana yang cacat dari apa yang mereka ceritakan kepada kita. Karena itu kita harus tawaqquf, tidak membenarkan mereka, agar kita tidak bergabung dengan mereka dalam berbagai perkara yang telah mereka selewengkan. Dan kita tidak mendustakan mereka, karena mungkin saja cerita mereka benar, sehingga kita mengingkari apa yang wajib bagi kita untuk mengimaninya.”


Penjelasan dari al-Khaththabi di atas cukup bagi kita untuk memahami kedudukan Israiliyyat yang tersebar di banyak kitab tafsir. Wallahu a’lam bish shawwab.


Rujukan:


1. al-Manaar fii ‘Uluumil Qur’an, karya Dr. Muhammad ‘Ali al-Hasan, penerbit Mathba’ah asy-Syarq wa Maktabatuha


2. Mabaahits fii ‘Uluumil Qur’an, karya Syaikh Manna’ al-Qaththan, penerbit Maktabah Wahbah


3. asy-Syakhshiyah al-Islamiyah Juz 1, karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, penerbit Daar al-Ummah


*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar