Sabtu, 04 Februari 2012

Khilafah, Kewajiban yang Terlupakan

Definisi Khilafah

Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah dalam kitab asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz 2 bab al-Khilafah, Khilafah adalah:
رئاسة عامة للمسلمين جميعا في الدنيا لإقامة أحكام الشرع الإسلامي، وحمل الدعوة الإسلامية إلى العالم
Artinya: “Kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia, untuk menegakkan hukum-hukum syara’ Islami, dan mengemban dakwah Islamiyah ke seluruh alam.”
Menurut beliau, istilah Khilafah bersinonim dengan istilah Imamah. Hal ini diamini oleh Syaikh Dr. Wahbah az-Zuhaili hafizhahullah.
Dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu karya Syaikh Dr. Wahbah az-Zuhaili hafizhahullah pada bab Sulthah at-Tanfiidz al-‘Ulyaa – al-Imaamah, dikemukakan beberapa definisi Khilafah menurut para ‘ulama, yaitu sebagai berikut:


Menurut ad-Dahlawi, Khilafah adalah:
الرياسة العامة في التصدي لإقامة الدين بإحياء العلوم الدينية، وإقامة أركان الإسلام، والقيام بالجهاد، وما يتعلق به من ترتيب الجيوش والفروض للمقاتلة، وإعطائهم من الفيء، والقيام بالقضاء، وإقامة الحدود، ورفع المظالم، والأمر بالمعروف والنهي عن المنكر نيابة عن النبي صلّى الله عليه وسلم
Artinya: “Kepemimpinan umum untuk menegakkan agama dengan menghidupkan ilmu-ilmu agama, menegakkan rukun-rukun Islam, menegakkan jihad dan hal-hal yang berhubungan dengannya seperti pengaturan tentara dan kewajiban-kewajiban untuk orang yang berperang serta pemberian harta fa’i kepada mereka, menegakkan peradilan dan hudud, menghilangkan kezhaliman, serta melakukan amar ma’ruf nahi munkar, sebagai pengganti dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [sumber asli: Ikliil al-Karaamah fii Tibyan Maqaashid al-Imamah karya Shiddiq Hasan Khan, hal. 23]
Menurut at-Taftazani, Khilafah adalah:
رئاسة عامة في أمر الدين والدنيا، خلافة عن النبي صلّى الله عليه وسلم
Artinya: “Kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia, sebagai pengganti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam” [sumber asli: Syarh al-‘Aqa-id an-Nasafiyah, al-Khilafah karya Rasyid Ridha, hal. 10]
Menurut al-Mawardi, Imamah adalah:
موضوعة لخلافة النبوة في حراسة الدين وسياسة الدنيا
Artinya: “Ia menggantikan kenabian dalam menjaga agama dan mengurusi dunia.” [sumber asli: al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 3, terbitan صبيح]
Menurut Ibn Khaldun, Khilafah hakikatnya adalah:
خلافة عن صاحب الشرع في حراسة الدين وسياسة الدنيا به
Artinya: “Pengganti dari Shaahibus Syar’i dalam menjaga agama dan mengurusi dunia.” [sumber asli: al-Muqaddimah, hal. 191, terbitan التجارية]
Dalam kitabnya, Fiqih Islam, H. Sulaiman Rasjid, ulama asli Indonesia, mendefinisikan Khilafah sebagai berikut:
“Suatu susunan pemerintahan yang diatur menurut ajaran agama Islam, sebagaimana yang dibawa dan dijalankan oleh Nabi Muhammad Saw. semasa beliau hidup, dan kemudian dijalankan oleh Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abu Talib). Kepala negaranya dinamakan khalifah.”
Bisa disimpulkan, walaupun dengan berbagai redaksi yang berbeda, semua ‘ulama sepakat bahwa Khilafah adalah kepemimpinan umum atau pemerintahan bagi seluruh kaum muslimin yang menggantikan fungsi-fungsi kenabian dalam menjaga agama dan mengurusi dunia.
Hukum Menegakkan Khilafah Menurut Para ‘Ulama
Dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu disebutkan bahwa ‘ulama dari kalangan Ahlus Sunnah, Murjiah, Syi’ah, Mu’tazilah (kecuali satu kelompok dari mereka), dan Khawarij (selain kelompok Najdat) menyepakati bahwa Imamah merupakan perkara yang wajib dan fardhu yang telah ditentukan [catatan kaki di kitab tersebut: Syarh al-‘Aqa-id an-Nasafiyah karya at-Taftazani, hal. 142 dan seterusnya; Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin karya al-Asy’ari, Juz 2 hal. 133; Hujjatullah al-Balighah karya ad-Dahlawi, Juz 2 hal. 110; Ushuluddin karya al-Baghdadi, hal. 271 dan seterusnya, terbitan استانبول; al-Ahkam as-Sulthaniyyah karya al-Mawardi, hal. 3]
Dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah Juz 6 hal. 217 dinyatakan:
أجمعت الأمة على وجوب عقد الإمامة، وعلى أن الأمة يجب عليها الانقياد لإمام عادل، يقيم فيهم أحكام الله، ويسوسهم بأحكام الشريعة التي أتى بها رسول الله صلى الله عليه وسلم ولم يخرج عن هذا الإجماع من يعتد بخلافه
Artinya: “Umat bersepakat akan wajibnya mewujudkan Imamah. Dan wajib atas umat mengangkat seorang Imam yang ‘adil, yang akan menegakkan hukum-hukum Allah atas mereka dan mengatur urusan mereka dengan hukum-hukum syari’ah yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada yang menyelisihi ijma’ ini yang perlu diperhatikan.”
Dalam kitab al-Fishal fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa an-Nihal Juz 4 hal. 72 (terbitan مكتبة الخانجي), Imam Ibn Hazm al-Andalusi azh-Zhahiri menyatakan:
اتفق جميع أهل السنة وجميع المرجئة وجميع الشيعة وجميع الخوارج على وجوب الإمامة وأن الأمة واجب عليها الانقياد لإمام عادل يقيم فيهم أحكام الله ويسوسهم بأحكام الشريعة التي أتى بها رسول الله صلى الله عليه وسلم حاشا النجدات من الخوارج
Artinya: “Seluruh Ahlus Sunnah, Murjiah, Syi’ah dan Khawarij bersepakat akan wajibnya Imamah. Dan (mereka juga bersepakat) wajib bagi umat untuk mengangkat seorang Imam yang ‘adil yang akan menegakkan hukum-hukum Allah di tengah-tengah mereka, serta mengatur urusan mereka dengan hukum-hukum Syari’ah yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kecuali kelompok Najdat dari Khawarij.”
Dalam kitab Raudhah ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin Juz 10 hal. 42 (terbitan المكتب الإسلامي), Imam Abu Zakariya Yahya ibn Syaraf an-Nawawi asy-Syafi’i menyatakan:
لا بد للأمة من إمام يقيم الدين، وينصر السنة، وينتصف للمظلومين، ويستوفي الحقوق ويضعها مواضعها. قلت: تولي الإمامة فرض كفاية، فإن لم يكن من يصلح إلا واحدا، تعين عليه ولزمه طلبها إن لم يبتدئوه. والله أعلم
Artinya: “Sebuah keharusan bagi umat, adanya Imam yang akan menegakkan agama, menolong Sunnah, memberikan keadilan bagi orang yang terzhalimi, serta menunaikan berbagai hak dan menempatkannya sesuai tempatnya. Menurutku, mewujudkan Imamah tersebut merupakan fardhu kifayah. Dan jika tidak ada yang mampu melakukannya kecuali satu orang, maka wajib ‘ain atasnya dan merupakan keharusan baginya untuk mendapatkannya, jika belum ada yang mendahului. Wallahu a’lam.”
Dalam kitab Bada-i’ ash-Shana-i’ fi Tartib asy-Syara-i’ Juz 7 hal. 2 (terbitan دار الكتب العلمية), Imam ‘Alaa-uddin al-Kassani al-Hanafi menyatakan:
ولأن نصب الإمام الأعظم فرض، بلا خلاف بين أهل الحق، ولا عبرة – بخلاف بعض القدرية -؛ لإجماع الصحابة – رضي الله عنهم – على ذلك، ولمساس الحاجة إليه؛ لتقيد الأحكام، وإنصاف المظلوم من الظالم، وقطع المنازعات التي هي مادة الفساد، وغير ذلك من المصالح التي لا تقوم إلا بإمام
Artinya: “Dan karena sesungguhnya mengangkat seorang al-Imam al-A’zham (khalifah) itu merupakan fardhu. Tidak ada perbedaan pendapat di antara ahlul haq. Dan tidak diperhatikan perbedaan pendapat dengan sebagian kelompok Qadariyah, karena adanya ijma’ shahabat radhiyallahu ‘anhum akan hal ini (wajibnya mengangkat seorang khalifah). Juga karena adanya keperluan mendasar kepadanya (khalifah), untuk menerapkan hukum, memberikan keadilan terhadap orang yang dizhalimi atas orang yang menzhaliminya, menghentikan berbagai pertikaian yang mengarah pada fasad, dan karena berbagai kemaslahatan lain yang tidak bisa terwujud tanpa adanya Imam.”
Dalam kitab Mathalib Uli an-Nuha fi Syarh Ghayah al-Muntaha Juz 6 hal. 263 (terbitan المكتب الإسلامي), Syaikh Mushthafa ibn Sa’d as-Suyuthi ar-Rahibani al-Hanbali menyatakan:
ونصب الإمام فرض كفاية ؛ لأن بالناس حاجة لذلك لحماية البيضة، والذب عن الحوزة، وإقامة الحدود، وابتغاء الحقوق، والأمر بالمعروف والنهي عن المنكر
Artinya: “Dan mengangkat seorang Imam merupakan fardhu kifayah. Hal ini karena manusia membutuhkannya untuk menjaga kemurnian (agama), mempertahankannya dari pencemaran, menegakkan hudud, menunaikan hak-hak, serta untuk amar ma’ruf dan nahi munkar.”
Dalam kitab adz-Dzakhirah Juz 13 hal. 234 (terbitan دار الغرب الإسلامي), Imam Syihabuddin al-Qarafi al-Maliki menyatakan:
وأن نصب الإمام للأمة واجب مع القدرة
Artinya: “Dan mengangkat seorang Imam merupakan kewajiban bagi umat, sesuai kemampuan.”
Dalam kitab al-Ahkam as-Sulthaniyah Juz 1 hal. 15 (terbitan دار الحديث), Imam Abu al-Hasan al-Mawardi asy-Syafi’i menyatakan:
وعقدها لمن يقوم بها في الأمة واجب بالإجماع
Artinya: “Dan mewujudkannya (Imamah), bagi orang yang mampu melakukannya di tengah-tengah umat, merupakan kewajiban berdasarkan ijma’.”
Dalam kitab al-Khilafah hal. 18 (terbitan الزهراء للاعلام العربي), Syaikh Muhammad Rasyid Ridha menyatakan:
أجمع سلف الأمة، وأهل السنة، وجمهور الطوائف الأخرى على أن نصب الإمام – أي توليته على الأمة – واجب على المسلمين شرعا لا عقلا فقط كما قال بعض المعتزلة
Artinya: “Salaful Ummah, yaitu Ahlus Sunnah dan mayoritas kelompok lainnya bersepakat bahwa mengangkat seorang Imam –yang akan mengurus urusan umat– wajib atas kaum muslimin menurut syara’, bukan hanya menurut akal seperti yang dikatakan sebagian kalangan mu’tazilah.”
Dalam buku Fiqih Islam hal. 495 (terbitan Sinar Baru Algesindo, cetakan ke-40), H. Sulaiman Rasjid menyatakan:
“Kaum muslim (ijma’ yang mu’tabar) telah bersepakat bahwa hukum mendirikan khilafah itu adalah fardu kifayah atas semua kaum muslim.”
Dari pernyataan para ‘ulama di atas, dapat disimpulkan dengan sangat jelas bahwa para ‘ulama sepakat mendirikan Khilafah dan mengangkat seorang khalifah hukumnya wajib, sebagaimana kewajiban-kewajiban syari’ah lainnya. Dan siapa saja yang meninggalkan kewajiban ini akan mendapatkan dosa, bahkan azab yang sangat pedih karena meninggalkan kewajiban ini merupakan kemaksiatan yang sangat besar. Hal ini dinyatakan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz 2 hal. 13 (terbitan دار الأمة). Berikut pernyataan beliau:
وإقامة خليفة فرض على المسلمين كافة في جميع أقطار العالم. والقيام به – كالقيام بأي فرض من الفروض التي فرضها الله على المسلمين – هو أمر محتم لا تخيير فيه ولا هوادة في شأنه, والتقصير في القيام به معصية من أكبر المعاصي يعذب الله عليها أشد العذاب
Artinya: “Dan mengangkat seorang khalifah merupakan fardhu bagi seluruh kaum muslimin di berbagai penjuru dunia. Mendirikannya –sebagaimana mendirikan kewajiban dari berbagai kewajiban yang lain yang difardhukan oleh Allah bagi kaum muslimin– merupakan perkara yang telah ditentukan, dan tidak ada pilihan maupun keringanan dalam urusan ini. Kelalaian dari aktivitas mendirikannya merupakan salah satu kemaksiatan terbesar, yang akan mendapatkan azab dari Allah dengan azab yang sangat pedih.”
Dalil-Dalil Wajibnya Menegakkan Khilafah
Dasar wajibnya menegakkan Khilafah –sebagaimana dikemukakan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di kitab asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz 2– terdapat dalam al-Qur’an, as-Sunnah, dan Ijma’ Shahabat serta Kaidah Syar’iyyah.
Dalam al-Qur’an, Allah ta’ala telah memerintahkan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memutuskan perkara di antara kaum muslimin dengan apa yang diturunkan Allah ta’ala. Dan perintah tersebut berbentuk jazim (pasti). Allah ta’ala berfirman kepada Rasul ‘alaihis salam:
فاحكم بينهم بما أنزل الله ولا تتبع أهواءهم عما جاءك من الحق
Artinya: “Maka putuskanlah perkara di antara mereka menurut apa yang Allah turunkan, dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” [al-Maa-idah ayat 48]
وأن احكم بينهم بما أنزل الله ولا تتبع أهواءهم واحذرهم أن يفتنوك عن بعض ما أنزل الله إليك
Artinya: “Dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang Allah turunkan, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkanmu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” [al-Maa-idah ayat 49]
Seruan kepada Rasul merupakan seruan bagi umatnya, selama tidak ada dalil yang mengkhususkan seruan tersebut hanya bagi Rasul. Dan dalam hal ini, tidak ada dalil pengkhususan tersebut, sehingga seruan untuk menegakkan al-hukm (pengaturan urusan/pemerintahan) merupakan seruan kepada kaum muslimin. Dan yang dimaksud dengan mengangkat khalifah adalah menegakkan pemerintahan (الحكم) dan kekuasaan (السلطان).
Selain itu, Allah ta’ala juga mewajibkan kaum muslimin untuk menaati ulil amri, yaitu penguasa. Ini menunjukkan wajibnya mewujudkan waliyul amri (ulil amri) atas kaum muslimin. Allah ta’ala berfirman:
يا أيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah, ta’atilah Rasul dan ulil amri di antara kalian.” [an-Nisaa’ ayat 59]
Mafhum dari ayat di atas, Allah ta’ala tak akan memerintahkan menaati sesuatu yang tidak ada. Maka ayat di atas menunjukkan perintah mewujudkan waliyul amri. Perintah mewujudkan ini bukan perintah mandub atau mubah, namun perintah wajib, karena berhukum dengan apa yang diturunkan Allah wajib hukumnya. Mewujudkan waliyul amri berakibat tegaknya hukum syara’, sedangkan meninggalkannya berakibat diabaikannya hukum syara’. Dari sini bisa dipahami bahwa mewujudkan atau mengangkat seorang waliyul amri merupakan sebuah kewajiban, dan meninggalkan hal ini merupakan keharaman, karena hal itu berakibat diabaikannya hukum syara’.
Dalam as-Sunnah, di antaranya adalah hadits riwayat Imam Muslim dari jalan Nafi’, ia berkata: Ibn ‘Umar berkata kepadaku: aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
من خلع يدا من طاعة لقي الله يوم القيامة لا حجة له، ومن مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية
Artinya: “Barangsiapa melepaskan tangannya dari ketaatan, ia akan menjumpai Allah pada hari kiamat tanpa memiliki hujjah. Dan barangsiapa yang mati, sedangkan di pundaknya tidak ada bai’at, maka matinya seperti kematian jahiliyah.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan setiap muslim untuk mewujudkan bai’at di pundaknya, dan mensifati orang-orang yang mati tanpa ada bai’at di pundaknya seperti orang yang mati dalam kematian jahiliyah. Dan bai’at hanya diberikan kepada khalifah, tidak kepada selainnya.
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan adanya bai’at kepada seorang khalifah di pundak setiap muslim, dan tidak mewajibkan setiap muslim membai’at seorang khalifah. Maksudnya, yang wajib adalah mewujudkan bai’at di pundak setiap muslim, yaitu dengan mengangkat seorang khalifah yang dengannya terwujud bai’at di pundak setiap muslim, baik muslim tersebut secara langsung membai’at sang khalifah ataupun tidak.
Hadits yang lain lagi adalah hadits riwayat Imam Muslim dari al-A’raj dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
إنما الإمام جنة يقاتل من ورائه ويتقى به
Artinya: “Sesungguhnya imam (khalifah) itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung dengannya.”
Imam Muslim juga meriwayatkan hadits dari Abi Hazim, ia berkata: Aku mengikuti majelisnya Abu Hurairah selama lima tahun, dan aku pernah mendengarnya menyampaikan hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
كانت بنو إسرائيل تسوسهم الأنبياء, كلما هلك نبي خلفه نبي, وإنه لا نبي بعدي, وستكون خلفاء فتكثر، قالوا: فما تأمرنا؟ قال: فوا ببيعة الأول فالأول, وأعطوهم حقهم فإن الله سائلهم عما استرعاهم
Artinya: “Dulu bani Israil diurus oleh para Nabi. Setiap kali seorang Nabi meninggal, Nabi yang lain menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada Nabi lagi setelahku, dan akan ada para khalifah yang berjumlah banyak. Para shahabat bertanya: Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami? Nabi menjawab: Penuhilah bai’at yang pertama, yang pertama saja, dan berikanlah kepada mereka hak mereka. Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa saja yang mereka urus.”
Imam Muslim juga meriwayatkan hadits dari Ibn ‘Abbas, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
من كره من أميره شيئا فليصبر عليه، فإنه ليس أحد من الناس خرج من السلطان شبرا فمات عليه إلا مات ميتة جاهلية
Artinya: “Barangsiapa yang tidak menyukai sesuatu pada pemimpinnya, hendaklah ia bersabar atasnya. Sungguh tidak seorangpun yang keluar (untuk memberontak) dari penguasa sejengkal saja, kecuali ia akan mati seperti kematian jahiliyah.”
Hadits-hadits di atas merupakan informasi dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa kaum muslimin akan menyerahkan urusannya kepada para waliyul amri, dan di salah satu hadits di atas khalifah disifatkan seperti perisai atau pelindung. Pensifatan khalifah seperti perisai oleh Rasulullah merupakan informasi yang berisi tuntutan. Informasi dari Allah atau Rasul tentang sesuatu, jika mengandung celaan, maka itu merupakan tuntutan untuk meninggalkan sesuatu tersebut. Sebaliknya, jika informasi tentang sesuatu tersebut mengandung pujian, maka itu merupakan tuntutan untuk melakukan atau mewujudkan sesuatu tersebut. Dan jika pelaksanaan aktivitas yang dituntut tersebut berimplikasi tegaknya hukum syara’, dan meninggalkannya berimplikasi diabaikannya hukum syara’, maka tuntutan tersebut sifatnya pasti.
Dari hadits-hadits di atas juga dipahami bahwa yang mengurus urusan kaum muslimin adalah para khalifah. Ini berarti tuntutan untuk menegakkannya. Di hadits-hadits di atas juga disebutkan keharaman seorang muslim keluar untuk memberontak terhadap penguasa. Ini berarti mengangkat seorang penguasa merupakan perkara yang wajib. Demikian pula, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menaati para khalifah, dan memerangi orang-orang yang menentang mereka. Ini merupakan perintah untuk mengangkat seorang khalifah, sekaligus perintah menjaga kekhilafahannya, dengan memerangi siapapun yang menentang sang khalifah.
Terdapat hadits riwayat Imam Muslim, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ومن بايع إماما فأعطاه صفقة يده وثمرة قلبه فليطعه إن استطاع، فإن جاء آخر ينازعه فاضربوا عنق الآخر
Artinya: “Barangsiapa yang telah membai’at seorang imam (khalifah), serta memberikan genggaman tangannya dan buah hatinya, hendaklah ia menaatinya sesuai kemampuan. Dan jika datang orang lain yang menentang (memberontak) terhadap sang khalifah, maka penggallah leher orang tersebut.”
Dari hadits di atas dapat dipahami, perintah untuk taat kepada kepada imam, merupakan perintah untuk mewujudkan keberadaan imam tersebut. Dan perintah untuk memerangi siapapun yang menentangnya, merupakan indikasi tegas yang menunjukkan wajibnya hanya ada satu orang khalifah di satu masa.
Adapun dalil berdasarkan ijma’ shahabat, sesungguhnya para shahabat ridhwanullahi ‘alaihim bersepakat atas wajibnya mengangkat seorang khalifah pengganti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau wafat. Mereka bersepakat menyerahkan kekhilafahan kepada Abu Bakar, kemudian kepada ‘Umar sepeninggal Abu Bakar, setelah itu kepada ‘Utsman.
Ijma’ shahabat terhadap kewajiban mengangkat seorang khalifah ini tampak jelas dari sikap mereka yang menunda penguburan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyibukkan diri untuk mengangkat seorang khalifah. Ini mereka lakukan, padahal menguburkan jenazah setelah kematiannya adalah wajib, dan haram atas orang yang diwajibkan menyibukkan diri dalam penyelenggaraan dan penguburan jenazah untuk menyibukkan diri pada urusan lain, hingga sempurna penguburannya. Namun, para shahabat yang wajib atas mereka menyibukkan diri dalam penyelenggaraan dan penguburan jenazah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagian mereka malah lebih menyibukkan diri dalam pengangkatan khalifah, sedangkan sebagian yang lain mendiamkan. Mereka –para shahabat– bahkan sepakat menunda penguburan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama dua malam, padahal mereka mampu untuk mengingkarinya, dan mereka juga mampu untuk menguburkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum itu.
Dari peristiwa di atas, bisa dipahami bahwa terdapat ijma’ shahabat tentang keharusan lebih menyibukkan diri untuk mengangkat seorang khalifah dibandingkan menguburkan jenazah. Dan hal ini tidak mungkin terjadi, kecuali dipahami bahwa mengangkat seorang khalifah lebih wajib dibandingkan menguburkan jenazah.
Para shahabat seluruhnya juga bersepakat sepanjang kehidupan mereka atas wajibnya mengangkat seorang khalifah. Walaupun mereka berbeda pendapat tentang siapa yang akan dipilih sebagai khalifah, namun mereka tak pernah berselisih tentang wajibnya mengangkat seorang khalifah. Baik setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maupun setelah wafatnya salah seorang dari al-Khulafa ar-Rasyidin. Dari sini bisa dipahami bahwa ijma’ shahabat merupakan dalil yang sangat kuat dan jelas yang menunjukkan wajibnya mengangkat seorang khalifah.
Selain itu, menegakkan agama dan menerapkan hukum-hukum syara’ pada seluruh aspek kehidupan, duniawi dan ukhrawi, merupakan kewajiban bagi seluruh kaum muslimin berdasarkan dalil yang qath’i sumber dan penunjukannya. Tidak mungkin mewujudkan ini semua kecuali adanya penguasa yang menerapkannya. Dari sini berlaku kaidah syar’iyyah ‘Maa laa yatimmu al-waajib illaa bihi fahuwa waajib’ (ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب). Tidak mungkin sempurna kewajiban penegakan agama dan penerapan hukum-hukum syara’ pada seluruh aspek kehidupan tanpa adanya khalifah yang menerapkannya, maka mengangkat seorang khalifah wajib juga hukumnya.
***
Dari pemaparan yang cukup panjang dalam tulisan ini, seharusnya tak ada lagi keraguan pada diri setiap muslim akan wajibnya mendirikan Khilafah dan mengangkat seorang khalifah bagi seluruh kaum muslimin. Sebuah keanehan, jika ada seorang muslim yang menolak tegaknya kembali Khilafah, bahkan menjadi orang yang terdepan memusuhi para pejuangnya. Bisa jadi ia adalah orang yang bodoh terhadap agama, jika tidak, bisa jadi ia –wal ‘iyaadzu billah– adalah seorang munafik.
Khilafah bukan untuk didiskusikan, namun untuk ditegakkan. Wallaahul musta’an.

*****



Tidak ada komentar:

Posting Komentar