Jumat, 03 Februari 2012

Mengenal al-Mashalih al-Mursalah (bagian 1)

A. Pengertian al-Mashalih al-Mursalah
1. Secara Bahasa
Secara bahasa, al-mashalih al-mursalah (المصالح المرسلة) terdiri dari dua kata, yaitu al-mashalih (المصالح) dan al-mursalah (المرسلة). Al-mashalih berposisi sebagai kata yang disifati (الموصوف), dan al-mursalah berposisi sebagai kata sifat (الصفة).
Al-mashalih merupakan jama’ taksir dari kata al-mashlahah (المصلحة). Al-mashlahah sendiri merupakan bentuk mashdar mimi dari kata shalaha – yashluhu (صلح – يصلح), dan mempunyai makna yang sama dengan kata ash-shalah (الصلاح) yaitu ضد الفساد (lawan dari kerusakan).[1]
Sedangkan kata al-Mursalah (المرسلة) merupakan isim maf’ul dari kata arsala – yursilu (ارسل – يرسل), yang berarti المطلقة (yang tidak terikat).[2]
Bisa disimpulkan, secara bahasa al-mashalih al-marsalah berarti ‘kemaslahatan yang tidak terikat’.
2. Secara Istilah
Secara istilah, ada beberapa definisi al-mashalih al-mursalah atau al-mashlahah al-mursalah yang dikemukakan oleh para ulama. Berikut beberapa di antaranya:


Imam al-Ghazali mendefinisikannya dengan “(maslahat) yang tidak ada nash khusus yang ditunjukkan oleh syari’at tentang pembatalan atau penetapannya.”[3]
Syaikh ‘Abdul Wahhab Khallaf mendefinisikannya dengan “maslahat yang tidak disyari’atkan oleh pembuat syari’at ketetapan hukum untuk pelaksanaannya, dan tidak ditunjukkan penetapan ataupun pembatalannya oleh dalil syar’i .”[4]
Dr. Wahbah az-Zuhaili mendefinisikannya dengan “sifat-sifat yang sesuai dengan tindakan dan tujuan pembuat syari’at, tetapi tidak ada dalil khusus yang menetapkan atau membatalkannya, dan dengan penetapan hukum dari sifat-sifat tersebut akan tercapai kemaslahatan dan terhindar kerusakan pada manusia.”[5]
Dr. Muhammad Husain ‘Abdullah mendefinisikannya dengan “maslahat yang tidak terdapat dalil khusus tentangnya dari pembuat Syari’at, baik yang menunjukkan disyari’atkannya atau tidak disyari’atkannya maslahat tersebut.”[6]
B. Jenis-Jenis Maslahat
Sebelum lebih jauh membahas tentang al-mashalih al-mursalah, perlu dibahas dulu tentang maslahat secara umum. Ada dua sudut pandang dalam pembagian jenis-jenis maslahat ini, yang pertama dilihat dari sisi kekuatannya, dan yang kedua dari sisi diakui atau tidak diakuinya oleh asy-Syari’.
1. Dilihat Dari Sisi Kekuatannya
Maslahat, yang definisinya dikemukakan di atas, dari sisi kekuatannya terbagi menjadi tiga, yaitu[7]:
a) Adh-Dharuriyat (الضروريات)
Yaitu maslahat yang keberadaannya sangat diperlukan oleh manusia, baik dalam urusan agama maupun dunia, jika maslahat ini tidak ada maka rusaklah kehidupan dunianya, dan di akhirat ia akan kehilangan kenikmatan dan mendapat siksa. Maslahat jenis ini terdiri dari penjagaan terhadap agama, jiwa, akal, nasab, kehormatan dan harta. Semua hal yang bisa merusak maslahat jenis ini diharamkan oleh Allah ta’ala.
Dalam hal ini, Allah melarang murtad untuk memelihara agama, melarang membunuh untuk memelihara jiwa, melarang minum minuman yang memabukkan untuk memelihara akal, melarang zina untuk memelihara nasab dan kehormatan, serta melarang pencurian untuk memelihara harta.
b) Al-Hajiyat (الحاجيات)
Yaitu maslahat yang keberadaannya akan menghilangkan kesempitan (الحرج) pada manusia. Maslahat jenis ini berada di bawah adh-dharuriyat karena ketiadaannya tidak serta merta menghilangkan penjagaan terhadap agama, jiwa, akal, nasab, kehormatan dan harta.
Contoh maslahat jenis ini adalah disyari’atkannya jual beli, sewa-menyewa, dan berbagai aktivitas mu’amalah lainnya. Contoh lainnya adalah diberikannya rukhshah untuk mengqashar dan menjama’ shalat bagi musafir, dibolehkannya berbuka puasa di bulan Ramadhan bagi orang hamil dan menyusui, diwajibkannya menuntut ilmu agama, diharamkannya menutup aurat, dan lain-lain.
c) At-Tahsiniyat (التحسينيات)
Yaitu maslahat yang keberadaannya akan menghasilkan kebaikan dan kemuliaan bagi kehidupan manusia. Maslahat ini berada di bawah adh-dharuriyat dan al-hajiyat, karena ketiadaannya tidak langsung merusak penjagaan terhadap agama, jiwa, akal, nasab, kehormatan dan harta.
Contoh maslahat jenis ini adalah kewajiban thaharah untuk shalat dan pengharaman makanan-makanan yang buruk serta kotor.
Bila terjadi benturan antara adh-dharuriyat, al-hajiyat dan at-tahsiniyat, maka yang didahulukan adalah adh-dharuriyat baru al-hajiyat dan yang terakhir baru at-tahsiniyat. Bahkan, sesama adh-dharuriyat pun urutannya dibedakan lagi, dan penjagaan terhadap agama adalah yang utama. Sebagai contoh, jihad fi sabilillah disyari’atkan untuk menegakkan agama walaupun harus mengorbankan jiwa dan harta. Allah ta’ala berfirman:
وجاهدوا بأموالكم وأنفسكم في سبيل الله
Artinya: “Dan berjihadlah dengan harta dan jiwa kalian di jalan Allah.” [al-Maidah ayat 41]
Ayat di atas menunjukkan keharusan mendahulukan penjagaan terhadap agama atas jiwa dan harta.
2. Dari Sisi Diakui atau Tidak Diakuinya Oleh asy-Syari’
Sedangkan dari sisi diakui atau tidak diakuinya oleh asy-Syari’ (pembuat syari’at), maslahat terbagi menjadi 3, yaitu[8]:
a) Al-Mashalih al-Mu’tabarah (المصالح المعتبرة)
Yaitu maslahat yang diakui oleh asy-Syari’, dan terdapat hukum-hukum yang terperinci yang berasal dari nash yang akan mencapat maslahat ini. Maslahat ini misalnya untuk menjaga agama, jiwa, akal, nasab, kehormatan, dan harta.
Sebagai contoh, jihad dan hukum bunuh terhadap orang murtad disyari’atkan untuk menjaga diin. Qishash disyari’atkan untuk memelihara jiwa. Pengharaman minuman yang memabukkan dan had terhadap peminumnya akan memelihara akal. Pengharaman pencurian dan hukuman potong tangan untuk pelakunya akan menjaga harta. Pengharaman zina dan hukuman dera bagi pelakunya akan memelihara nasab dan kehormatan. Kebolehan mengqashar dan menjama’ shalat bagi musafir akan menghilangkan kesempitan dan kesulitan bagi musafir tersebut.
Menurut Dr. Wahbah az-Zuhaili, tidak ada perbedaan pendapat akan kebolehan menggunakan maslahat jenis ini untuk menunjukkan bahwa penerapan hukum-hukum syari’ah akan mendatangkan maslahat dan menolak mafsadat (kerusakan).
b) Al-Mashalih al-Mulghah (المصالح الملغاة)
Yaitu sesuatu yang disangka sebagai maslahat, namun asy-Syari’ menolak hal tersebut, dan menunjukkan hal yang sebaliknya. Misalnya fatwa Yahya ibn Yahya, seorang ahli fiqih madzhab Maliki terhadap khalifah ‘Abdurrahman ibn al-Hakam al-Umawi yang telah bersenggama dengan istrinya di siang hari bulan Ramadhan, ulama tersebut berkata, “Anda harus berpuasa dua bulan berturut-turut”. Ia tidak mendahulukan membebaskan budak, ia berkata, “Jika saya memerintahkannya untuk itu (membebaskan budak), maka itu terlalu mudah baginya dan ia akan memandang remeh hal tersebut, yang lebih maslahat adalah mewajibkan ia puasa dua bulan berturut-turut agar ia bisa tercegah dari mengulangi hal tersebut”. Fatwa ini bathil karena bertentangan dengan hadits Nabi yang mendahulukan membebaskan budak dari berpuasa dua bulan berturut-turut.
Contoh yang lain adalah berlebih-lebihan dalam beragama. Sebagian shahabat menyangka bahwa berpuasa terus menerus, tidak menikah dan tidak tidur di malam hari untuk mengerjakan shalat akan mendatangkan maslahat bagi mereka, namun hal ini ditolak oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui hadits beliau:
أما والله إنى لأخشاكم الله وأتقاكم له ، لكني أصوم وأفطر ، وأصلي وأرقد ، وأتزوج النساء ، فمن رغب عن سنتي فليس مني
Artinya: “Demi Allah, sesungguhnya saya adalah orang yang paling takut dan paling bertakwa kepada Allah di antara kalian, tetapi saya berpuasa dan berbuka, shalat dan tidur malam, dan saya juga menikah dengan perempuan. Barangsiapa yang benci terhadap sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku.” [Dikeluarkan oleh al-Bukhari, Muslim, dan an-Nasai dari Anas ibn Malik radhiyallahu ‘anhu]
Menurut Mahmud ‘Abdul Karim Hasan, tidak ada khilaf tentang ketidak bolehan menggunakan maslahat jenis ini.
c) Al-Mashalih al-Mursalah (المصالح المرسلة)
Yaitu maslahat yang tidak ada keterangan dari asy-Syari’ tentang diakui atau tidak diakuinya maslahat jenis ini. Untuk maslahat jenis ini, ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya penggunaannya sebagai sumber hukum.


Catatan Kaki:
[1] Lihat pembahasan shalaha (صلح) di Lisanul ‘Arab juz 2 hal. 516-517.
[2] Lihat pembahasan rasala (رسل) di Lisanul ‘Arab Juz 11 hal. 281-285.
[3] Al-Ghazali, al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul, terbitan Syirkah al-Madinah al-Munawwarah li ath-Thiba’ah, Juz 2 hal. 481. Redaksi aslinya: ما لم يشهد له من الشرع بالبطلان ولا بالاعتبار نص معين.
[4] ‘Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, terbitan Maktabah ad-Da’wah al-Islamiyah, hal. 84. Redaksi aslinya: المصلحة التي لم يشرع الشارع حكما لتحقيقها ولم يدل دليل شرعي على اعتبارها او الغائها.
[5] Dr. Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, terbitan Dar al-Fikr, Juz 2 hal. 757. Redaksi aslinya: الأوصاف التي تلائم تصرفات الشارع ومقاصده ولكن لم يشهد لها دليل معين من الشرع بالاعتبار أو الإلغاء ويحصل من ربط الحكم بها جلب مصلحة أو دفع مفسدة عن الناس.
[6] Dr. Muhammad Husain ‘Abdullah, al-Wadhih fi Ushul al-Fiqh, terbitan Dar al-Bayariq, hal. 152. Redaksi aslinya: المصالح التي لم يرد من المشرع دليل خاص بها ويشهد لها بالمشروعية أو عدم المشروعية.
[7] Lihat Ushul al-Fiqh al-Islami karya Dr. Wahbah az-Zuhaili Juz 2 hal. 754-756 dan Ushul Fiqh karya Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin Jilid 2 hal. 348-351.
[8] Lihat Ushul al-Fiqh al-Islami karya Dr. Wahbah az-Zuhaili Juz 2 hal. 752-754; al-Wadhih fi Ushul al-Fiqh karya Dr. Muhammad Husain ‘Abdullah hal. 150-153; al-Mashalih al-Mursalah, Dirasah Tahliliyah wa Munaqasyah Fiqhiyah wa Ushuliyah ma’a Amtsilah Tathbiqiyah karya Mahmud ‘Abdul Karim Hasan hal. 36-37.


*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar