Selasa, 07 Februari 2012

Kaidah Kaidah Penting Untuk Memahami Asma dan Sifat Allah

Kaidah Umum terkait nama dan sifat Allah
- Kewajiban kita terhadap nash-nash Al Quran dan As Sunnah yang membahas tentang asma dan sifat Allah.
Dalam memahami nash-nash Al Quran dan As Sunnah kita wajib untuk menetapkan maknanya apa adanya, berdasar dzahir nash dan tidak memalingkannya ke makna lain. Karena Allah menurunkan Al Quran dengan bahasa Arab, yang bahasa tersebut sudah jelas. Disamping itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamjuga berbicara dengan bahasa Arab, sehingga wajib bagi kita menetapkan makna kalam Allah dan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan apa yang ditunjukkan secara makna bahasa tersebut. Merubahnya dari makna dzahir merupakan perbuatan terlarang, karena ini termasuk berkata tentang Allah tanpa dasar ilmu. Allah berfirman,

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ (٣٣)

“Katakanlah: ‘Rabbku mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun tersembunyi, perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan mengatakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui” (Al A’raf: 33)



Sebagai contoh, firman Allah ta’ala,

بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ يُنْفِقُ كَيْفَ يَشَاءُ

“(Tidak demikian), tetapi kedua tangan Allah terbentang. Dia menafkahkan sebagaimana dia kehendaki” ( QS. Al Ma’idah)
Secara dzahir, ayat ini menunjukkan bahwa Allah mempunyai dua tangan yang hakiki. Maka wajib menetapkan dua tangan Allah tersebut. Jika ada orang yang mengatakan kedua tangan tersebut maksudnya kekuatan, maka kita katakan : ini termasuk memalingkan makna Al Quran dari dzahirnya. Kita tidak boleh bekata demikian karena ini berati kita berkomentar tentang Allah tanpa dasar ilmu.
Kaidah Dalam Asma Allah
- Asma Allah seluruhnya husna (paling baik)



Dalam kebaikan Allahlah yang paling tinggi karena nama Allah mengandung sifat yang sempurna, tidak ada kekurangan di dalamnya dari segala sisi.

وَلِلَّهِ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى

“Dan bagi Allah asmaul husna” (Al A’raf: 180)
Contoh:

Ar Rahman adalah salah satu dari nama-nama Allah, menunjukkan atas sifat yang agung yaitu memiliki rahmat yang luas.
Berdasarkan penjelasan di atas, kita tahu bahwa ad dahr (waktu) bukan termasuk salah satu dari nama Allah karena tidak mengandung makna yang terpuji. Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Janganlah kalian menela dahr (masa) karena Allah adalah Dahr” (HR. Muslim)
Maka maknanya adalah Allah lah yang menguasai masa. Kita palingkan ke makna tersebut dengan dalil hadis,
“Di tangan-Ku lah segala urusan, Aku yang membolak-balikkan siang dan malam” (HR. Bukhari)
- Nama Allah tidak dibatasi pada bilangan tertentu



Kaidah ini didasari doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masyhur,
“Ya Allah aku memohon kepada-Mu dengan setiap nama-Mu yang Engkau gunakan untuk diri-Mu, yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau Engkau ajarkan kepada salah seorang dari makhluk-Mu, atau yang Engkau rahasiakan untuk diri-Mu dalam ilmu ghaib di sisi-Mu” (HR. Ahmad, HR Ibnu Hibban)
Lalu bagaimana menggabungkan dengan hadits berikut,



“Sesngguhnya ada 99 nama milik Allah, barang siapa menjaganya akan masuk syurga” (HR. Bukhari)
Makna hadits ini adalah: Diantara nama Allah ada 99 nama yang jika kita menjaganya kita akan masuk syurga. Dan tidaklah dimaksudkan disini membatasi nama Allah hanya 99. Kita bisa melihat hal ini dengan contoh perkataan “saya mempunyai 100 dirham untuk disedekahkan”. Maka pernyataan ini tidak menafikan kalau saya mempunyai dirham yang lain yang saya peruntukkan untuk selain sedekah.
- Nama Allah tidak dapat ditetapkan berdasarkan akal tetapi harus dengan dalil syar’i



Nama Allah adalah tauqifiyah, yaitu harus ditetapkan berdasarkan dalil syari’at, tidak boleh menambahnya dan tidak boleh menguranginya karena akal tidak mungkin mencapai semua yang menjadi hak Allah dari nama-nama-Nya. Maka dalam hal ini kita wajib untuk mencukupkan diri dengan dalil syar’i. Hal ini karena menamai Allah dengan nama yang tidak Allah namakan diri-Nya dengan nama tersebut atau mengingkari nama yang Allah menamai diri-Nya dengan nama tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak Allah ta’ala. Kita wajib mempunyai adab yang baik kepada Allah ta’ala.
- Seluruh nama dari nama-nama Allah menunjukkan atas dzat Allah, sifat yang terkandung di dalam nama tersebut, dan adanya pengaruh yang dihasilkan jika nama tersebut adalah nama yang muta’adi (membutuhkan objek)



Dan tidak sempurna iman seseorang terhadap asma dan sifat Allah kecuali dengan menetapkan semua hal tersebut.
Contoh nama Allah yang bukan muta’adi: Al ‘Adzim (Yang Maha Agung)

Tidak sempurna mengimani nama ini sampai mengimani dengan menetapkan 2 hal:

a. Menetapkan Al Adzim sebagai nama Allah yang menunjukkan pada Dzat Allah

b. Menetapkan sifat yang terkandung dalam nama tersebut, yaitu Al ‘Udzmah (keagungan)
Contoh nama Allah yang muta’adi: Ar Rahman

Tidak sempurna mengimaninya sampai mengimani dengan menetapkan 3 hal:

a. Menetapkan Ar Rahman sebagai nama Allah yang menunjukkan pada dzat Allah

b. Menetapkan sifat yang terkandung dalam nama tersebut, yaitu Ar Rahmah ,

c. Menetapkan adanya pengaruh dari nama itu, yaitu merahmati siapa yang Allah kehendaki.
Kaidah dalam memahami sifat Allah



- Sifat Allah seluruhnya tinggi, sempurna, mengandung pujian, dan tidak ada kekurangan dari sisi mana pun.

Seperti Al Hayah (hidup), Al’ Ilmu (mengetahui), Al Qudrah (kehendak), As Sama (mendengar), Al Bashar (melihat), Al Hikmah, Ar Rahmah, Al Uluw (tinggi), dll. Allah berfirman,

وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الأعْلَى

“Dan Allah mempunyai sifat yang maha tinggi” (Qs. An Nahl: 60)
Karena Allah adalah Rabb yang maha sempurna maka sifatnya harus sempurna.
- Jika suatu sifat menunjukkan kekurangan dan bukan kesempurnaan sama sekali maka mustahil sifat itu dimiliki Allah, seperti Al Maut (mati), Al Jahl (bodoh), Al Ajs (lemah), As Samam (tuli), Al ‘Ama (buta), dll. Oleh karena itu Allah membantah orang yang mensifati diri-Nya dengan kekurangan dan mensucikan diri-Nya dari kekurangan tersebut. Allah tidak mungkin mempunyai kekurangan karena hal itu akan mengurangi keberadaan-Nya sebagai Rab semesta alam.
- Jika sifat tersebut di satu sisi menunjukkan kesempurnaan sedangkan di sisi lain menunjukkan kekurangan maka sifat ini tidak dinisbatkan dan tidak dinafikan (ditolak) dari Allah secara mutlak akan tetapi perlu dirinci. Kita menetapkan sifat tersebut dalam keadaan yang menunjukkan kesempurnaan dan kita menolak sifat tersebut dalam keadaan yang menunjukkan kekurangan.

Contohnya sifat Al Makr, Al Kaid, Al Khida’ (makna ketiganya adalah tipu daya)

Sifat ini merupakan sifat yang sempurna jika dalam rangka menghadapi semisalnya (membalas orang yang berbuat tipu daya) Karena hal ini menunjukkan bahwa yang mempunyai sifat ini (Allah) tidak lemah menghadapi tipu daya musuh-musuh-Nya.

Dan sifat ini menupakan sifat yang kurang dalam keadaan selain diatas. Maka kita menetapkan sifat tersebut untuk Allah dalam keadaan yang pertama, bukan yang kedua.
Allah ta’ala berfirman,

وَيَمْكُرُ اللَّهُ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ

“Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (Qs. Al Anfal: 30)

إِنَّهُمْ يَكِيدُونَ كَيْدًا (١٥) وَأَكِيدُ كَيْدًا (١٦)

“Sesungguhnya orang kafir itu merencanakan tipu daya yang jahat dengan sebenar-benarnya. Aku pun membuat rencana (pula) dengan sebenar-benarnya.” (Qs. At Thariq: 15-16)

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka.” (Qs. An Nisa: 142)
Jika dikatakan Apakah Allah disifati dengan Al Makr? Maka jangan menjawab “ya” dan jangan pula menjawab “tidak”, akan tetapi kaakanlah “Allah berbuat makar terhadap orang yang pantas mendapatkannya” wallahu a’lam.
- Sifat Allah terbagi menjadi dua, yaitu tsubutiyah dan salbiyah
Tsubutiyah yaitu sifat yang ditetapkan Allah untuk diri-Nya seperti Al Hayah, Al Alim, Al Qudrah. Sifat ini wajib kita tetapkan pada Allah sesuai dengan keagungan-Nya karena Allah sendiri menetapkan sifat tersebut untuk diri-Nya dan Allah lebih mengetahui tentang sifat diri-Nya.
Salbiyah yaitu sifat yang Allah nafikan (tiadakan) untuk diri-Nya seperti dzalim. Sifat ini wajib kita nafikan pada Allah karena Allah telah menafikan sifat tersebut pada diri-Nya. Dan kita wajib untuk menetapkan pada Allah sifat yang merupakan lawannya yaitu sifat yang menunjukkan sifat kesempurnaan. Penafian tidak sempurna tanpa menetapkan kebalikannya.
Contohnya, Firman Allah ta’ala,

وَلا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا (٤٩,)

“Dan Rabmu tidak menganiaya seorang jua pun.” (Qs. Al Kahfi: 49)
Kita wajib menafikan sifat dzalim dari Allah disertai dengan keyakinan menetapkan sifat adil bagi Allah yang mana sifat adil tersebut dalam bentuk yang sempurna.
- Sifat tsubutiyah terbagi menjadi dua, yaitu sifat dzatiyah dan sifat fi’liyah
Sifat dzatiyah yaitu sifat yang terus-menerus ada (selalu melekat) pada diri Allah seperti sifat As Sama, Al Bashar
Sifat fi’liyah yaitu sifat yang terikat dengan kehendak Allah. Jika Allah menghendaki maka Dia melakukannya dan jika Allah tidak menghendaki maka Dia tidak melakukannya. Contohnya sifat istiwa’ di atas arsy, sifat maji’ (datang)
Dan ada beberapa sifat yang termasuk sifat dzatiyah sekaligus fi’liyah jika dilihat dari dua sisi. Contohnya sifat kalam (berbicara). Dilihat dari sisi asalnya sifat tersebut merupakan sifat dzatiyah karena Allah senantiasa berbicara. Tetapi jika dilihat dari sisi lain, kalam merupakan sifat fi’liyah karena Allah berbicara tergantung pada kehendak-Nya. Dia berbicara kapan dan bagaimana Dia kehendaki.
- Seluruh sifat Allah bisa menerima tiga pertayaan
1. Apakah sifat itu hakiki, mengapa?

2. Apakah boleh menanyakan kaifiyahnya (bagaimananya) (takyif)? Dan mengapa?

3. Apakah boleh menyerupakannya sengan makhluk (tamtsil)? Dan mengapa?
Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah,
1. Benar, sifat Allah hakiki karena asal sebuah perkataan adalah mempunyai makna hakiki. Maka tidak boleh memalingkannya kecuali dengan dalil yang shahih.
2. Tidak boleh menanyakan kaifiyahnya karena firman Allah ta’ala,

وَلا يُحِيطُونَ بِهِ عِلْمًا (١١٠)

“Sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya” (Qs. Thaha: 110)
Dan karena akal tidak mungkin mengetahui kaifiyah sifat Allah
3. Tidak boleh menyerupakan dengan sifat makhluk karena firman Allah ta’ala

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia” (Qs. As Syuura: 11)
Karena Allah sempurna, tidak ada puncak sifat kebaikan yang lebih tingi dari-Nya sehingga tidak mungkin diserupakan dengan makhluk karena makhluk itu penuh kekurangan.
Perbedaan antara tamtsil dan takyif yaitu:

Tamtsil berarti menyebutkan kaifiyah sifat Allah dengan mengaitkannya dengan sifat makhluk sedangkan takyif adalah menyebutkan kaifiyah sifat Allah tanpa mengaitkannya dengan makhluk.
Contoh tamtsil: Perkataan “tangan Allah itu seperti tangan manusia”

Contoh takyif: Membayangkan kaifiyah (bagaimana) tangan Allah dengan suatu gambaran tertentu dengan tidak menyerupakannya dengan tangan makhluk. Maka hal ini tidak boleh.
- Bagaimana membantah Mu’athilah
Mu’athilah adalah orang yang mengingkari atau menolak sebagian asma Allah atau sifat Allah dan memalingkan nash dari makna dzahirnya. Mereka jiga disebut muawwilah.
Kaidah umum dalam membantah mereka adalah kita katakan kepada mereka bahwa pendapat mereka menyelisihi dzahir nash, menyelisihi jalan para salaf dalam memahami asma dan sifat Allah, penyelisihan mereka tidak didasari dalil yang shahih dan pada beberapa sifat bisa disertai bantahan-bantahan khusus yang ke empat, atau lebih.
Sumber: Syarah Lum’atul I’tiqad, Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin (Pendahuluan Syaikh Utsaimin sebelum men-syarah)
***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar