Selasa, 07 Februari 2012

Berlebih-lebihan Terhadap Kuburan Orang-orang Shalih

Segala puji hanya milik Allah ‘Azza wa Jalla Rabb semesta alam.

Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah melainkan Allah ‘Azza wa Jalla semata. Tiada sekutu baginya.

Dan aku bersaksi bahwa Muhammad ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam adalah hamba dan Rasul-Nya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah berkata, “Sebaik-sebaik ibadah adalah ibadah yang sesuai petunjuk Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam dan para shabatnya.” Sebagaimana Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam pernah menyampaikan, ‘Sebaik-baik perkataan adalah kalamulloh dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam. Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama), setiap yang dia-adakan (dalam agama) adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.’
Salah satu sebab yang membuat seseorang menjadi kufur adalah sikap ghuluw dalam beragama, baik kepada orang shalih atau dianggap wali, maupun ghuluw kepada kuburan para wali, hingga mereka minta dan berdo’a kepadanya padahal ini adalah perbuatan syirik akbar.[1]
Syirik Akbar adalah memalingkan ibadah untuk selain Allah, seperti doa kepada selain Allah, dan meminta bantuan kepada orang-orang yang telah mati, atau meminta kepada orang yang hidup akan tetapi tidak hadir dihadapan kita.[2]
Dosa syirik akbar ini tidak akan diampuni oleh Allah. Dan amal shalih apapun tidak akan diterima jika disertai dengan syirik akbar ini. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman yang artinya,
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang lebih rendah derajatnya dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (QS. An Nisaa’: 116)[3]
Ketahuilah wahai saudaraku –semoga Allah merahmati Anda-, Ghuluw[4] adalah Sikap atau perbuatan yang berlebih-lebihan di dalam perkara agama sehingga melampaui apa yang telah ditetapkan melalui batasan syari’at baik bentuknya keyakinan atau perbuatan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya,
“Katakanlah: ‘Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara yang tidak benar di dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang terdahulu yang telah sesat (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.” (QS. al-Maidah: 77)
Sesungguhnya agama ini telah lengkap dan tidak perlu kepada penambahan atau pengurangan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya,
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agama-mu, dan telah aku cukupkan kepada kamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam itu menjadi agama bagimu.” (QS. al-Ma’idah: 3)
Berlebih-lebihan Dalam Mengagungkan Orang-orang Shalih menjadi Penyebab Manusia Kufur dan Meninggalkan Agamanya
Disebutkan dalam riwayat yang shahih, bahwa shahabat Ibnu Abbas radhiyAllahu ‘anhu menafsirkan firman Allah Ta’ala,

وقالوا لا تذرن آلهتكم ولا تذرن ودا ولا سواعا ولا يغوث ويعوق ونسرا

“Dan mereka (kaum Nabi Nuh) berkata, ’Janganlah sekali-kali kalian meninggalkan (peribadahan kepada) Tuhan-tuhan kalian, dan janganlah sekali-kali kalian meninggalkan (peribadahan kepada) Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.’” (QS. Nuh: 23)
Ibnu Abbas radhiyAllahu ‘anhu berkata, “Ini adalah nama-nama orang shalih dari kaum Nabi Nuh. Dikala mereka meninggal, setan membisikkan kepada generasi penerus mereka, “Pancangkanlah patung-patung di tempat-tempat mereka berkumpul, dan namailah patung-patung tersebut dengan nama-nama mereka. Maka merekapun menuruti bisikan tersebut. Awal mulanya, patung tersebut tidak disembah. Akan tetapi ketika mereka (orang-orang yang membuat patung tersebut) telah meninggal, dan ilmu agama telah dilalaikan orang, maka patung tersebut mulai disembah.” [5]
Demikianlah makar setan terhadap mereka dengan menghembuskan api perselisihan di antara mereka sehingga mereka meninggalkan ajaran rasul, memperdayakan mereka sehingga mengagungkan orang-orang yang sudah mati dan bermukim di kuburan-kuburan mereka. Kemudian setan memperdaya mereka sehingga membuat gambar dan patung orang-orang yang sudah mati itu. Dan akhirnya mereka menyembah patung-patung tersebut.
Orang-orang musyrik di kalangan kaum Nuh adalah kaum yang pertama kali melakukan kemusyrikan. Bentuk kemusyrikan yang pertama kali mereka lakukan adalah pengagungan terhadap orang-orang mati, dan itulah syirik ardhi, syirik yang pertama kali terjadi di bumi ini. Tatkala manusia telah menyembah berhala, menyembah thaghut dan terjerumus dalam kesesatan dan kekufuran, maka Allah ‘Azza wa Jalla mengutus Rasul pertama kepada penduduk bumi sebagai rahmat-Nya kepada mereka, rasul itu adalah Nuh ‘alaihis salam bin Yardah bin Mahil bin Qainan bin Anusy bin Syits bin Adam ‘alaihis salam.
Ibnul Qayyim berkata, “Banyak ulama salaf yang menuturkan, ‘Ketika orang-orang (yang disebut pada ayat tersebut) telah meninggal, orang-orang setelah mereka beri’tikaf (berdiam diri dengan tujuan beribadah) di atas kuburan mereka. Selanjutnya mereka membuat patung-patung mereka. Dan setelah masa berlalu lama, generasi penerus mereka mulai beribadah kepada patung tersebut.”[6]

Berlebih-lebihan terhadap orang-orang shalih dan para nabi dengan memberikan salah satu bentuk beribadatan kepada mereka yang merupakan bagian dari sifat uluhiyah, atau menjadikan mereka satu bentuk persembahan dan penghambaan adalah merupakan bentuk kesyirikan yang mengeluarkan seseorang dari keislamannya. Sebab, sifat uluhiyah itu secara keseluruhan hanya menjadi milik Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Uluhiyah ini tidak patut diberikan kepada siapapun juga, kecuali hanya kepada-Nya.[7]

“عَنْ عُبَيْدِاللهِ بْنِ عَبْدِاللهِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ سَمِعَ عُمَرَ رَضِي اللهُ عَنْهُمْ يَقُولُ عَلَى الْمِنْبَرِ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لاَ تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ ”

Dari ‘Ubaidillah bin Abdillah dari Ibnu ‘Abbas, ia mendengar ‘Umar radhiyAllahu ‘anhu berkata di atas mimbar : Aku mendengar Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku seperti orang-orang Nasrani berlebih-lebihan dalam memuji putra Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba Allah, maka katakanlah ‘Abdullah (hamba Allah) dan Rasul-Nya” (HR. Al-Bukhari)
Dari hadits ini beliau ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam melarang umatnya dari berlebih-lebihan dalam pujian, sebagaimana umat nashrani telah melampaui batas ketika memuji Isa bin Maryam. Perbuatan mereka ini telah menjerumuskan mereka kepada jurang kekafiran dan kesyirikan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Mereka telah mengklaim bahwa Isa bin Maryam sebagai anak Allah ‘Azza wa Jalla. Karena itu, beliau ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah : hamba Allah dan rasul-Nya.”
Dan Rasululloh ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda,

“إياكم والغلو، فإنما أهلك من كان قبلكم الغلو”

“Waspadalah dari kalian sikap berlebih-lebihan, karena sesungguhnya sikap berlebih-lebihan itulah yang telah membinasakan orang-orang sebelum kalian” (HR. Ahmad, Turmudzi dan Ibnu majah dari Ibnu Abbas radhiyAllahu ‘anhu).
Imam Muslim juga meriwayatkan dari shahabat Ibnu Mas’ud bahwa Rasululloh ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,

“هلك المتنطعون ” قالها ثلاثا.

“Binasalah orang-orang yang berlebih-lebihan” (Beliau mengulangi sabdanya ini sebanyak tiga kali).
Ketahuilah wahai Saudaraku seiman, -semoga Allah senantiasa memberi rahmat kepada anda- dari hadits-hadits di atas Rasululloh ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam telah melarang kita dari segala macam perbuatan melampaui batas. Perbuatan melampaui batas adalah sumber dari semua kejelekan, dan sikap bersahaja (tidak berlebihan dan tidak meremehkan) dalam setiap urusan adalah sumber bagi segala keberhasilan dan kebaikan.
Larangan Keras Beribadah Kepada Allah Di Atas Atau Sisi Kuburan Orang-orang Shalih.[8]
Diriwayatkan pada hadits shahih, dari istri Rasululloh ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam ‘Aisyah radhiyAllahu ‘anha bahwa Ummu Salamah mengisahkan kepada Rasululloh ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam tentang suatu gereja, yang pernah ia lihat di negeri Habasyah (Ethiopia), beserta gambar-gambar yang terpampang di dalamnya. Mendengar kisah istrinya ini, Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,

“أولئك إذا مات فيهم الرجل الصالح، أو العبد الصالح بنوا على قبره مسجدا، وصوروا فيه تلك الصور، أولئك شرار الخلق عند الله.”

”Mereka itu, apabila ada orang yang shalih atau hamba yang shalih meninggal, mereka membangun di atas kuburannya sebuah masjid (tempat ibadah), dan mereka membuat di dalamnya patung-patung, dan merekalah sejelek-jelek makhluk di sisi Allah”.
Mereka telah menggabungkan dua sumber kesesatan : membangun masjid di kuburan dan membuat patung-patung.



Pada hadits tersebut kata “masjid” adalah sebutan bagi setiap tempat yang dijadikan untuk beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Dengan demikian, hadits ini menunjukkan bahwa gereja-gereja mereka dibangun di atas kuburan orang-orang shalih. Di dalamnya atau di atas kuburan itulah mereka menggantungkan gambar orang shalih tersebut. Mereka melakukan itu guna membangkitkan kesadaran masyarakat untuk beribadah kepada Allah, melalui pengagungan orang shalih dan kuburannya.
Nabi menanggapi kisah Ummi Salamah dengan bersabda, “Mereka itu sejelek-jelek makhluk di sisi Allah”. Yang beliau maksudkan ialah para pengagung orang shalih yang membangun masjid di atas kuburan. Pada hadits ini tidak ada pernyataan bahwa mereka beribadah kepada orang shalih tersebut. Mereka hanya mengagungkan kuburan tersebut, dan membuat gambar atau patung mereka. Akan tetapi perhatikanlah bahwa sesungguhnya Rasululloh ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam telah mencela perbuatan mereka karena mereka telah menggabungkan dua sumber kesesatan : membangun masjid di kuburan dan patung-patung. Kedua hal ini merupakan penyebab terjadinya syirik akbar. Dapat kita pahami bahwa hadits ini adalah peringatan dan sekaligus larangan bagi umat ini dari membangun masjid di atas kuburan seseorang.



Amalan yang beliau ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam tegur dengan keras adalah mendatangi kuburan orang shalih, guna beribadah kepada Allah di sana. Biasanya orang yang melakukan ini mengharap mendapatkan keberkahan di tempat tersebut. Orang awam seringkali melakukan amalan ini. Mereka meyakini bahwa tanah sekitar kuburan orang shalih memiliki keberkahan, sehingga amal ibadah di sana berbeda dengan amal ibadah di tempat lain.
“Terlebih lagi orang yang beribadah kepada kuburan”. Maksudnya beribadah kepada kuburan atau penghuni kuburan tersebut. Para penyembah kuburan, kadangkala menunjukkan ibadahnya kepada kuburan, dan kadangkala menunjukkannya kepada penghuni kuburan. Dan pada beberapa kesempatan, sebagian mereka menunjukkan ibadahnya kepada tempat di sekitar kuburan. Betapa banyak bangunan, soko (tiang) dan pagar kuburan para wali telah dijadikan sebagai tempat tujuan berziarah dan ngalap berkah.
Dengan ritual itu, mereka telah menjadikan pagar besi dan dinding kuburan sebagai sesembahan. Bahkan mereka meyakini bila mengusapnya akan mendapatkan keberkahan. Tidak jarang dari mereka yang menjadikannya sebagai parantara/ wasilah doa mereka kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Mereka beri’tikaf dan menjalankan berbagai ritual ibadah di sana. Sebagaimana mereka juga menggantungkan harapan dan rasa takutnya kepada kuburan-kuburan tersebut.
Imam Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dari Aisyah radhiyAllahu ‘anha pula, ia menuturkan bahwa ketika Rasululloh ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam sedang didatangi (oleh Malaikat Maut), beliau menutup wajahnya dengan sehelai baju. Dan tatkala merasakan sesak, beliau membukanya, -dalam keadaan demikian itu- beliau bersabda,

“لعنة الله على اليهود والنصارى، اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد”

“Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashrani, mereka telah menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid (tempat peribadatan).”
Imam Muslim meriwayatkan dari shahabat Jundub bin ‘Abdullah, dimana ia menuturkan : “Aku pernah mendengar Rasululloh ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam bersabda lima hari sebelum beliau meninggal dunia,

“إني أبرأ إلى الله أن يكون لي منكم خليلا، فإن الله قد اتخذني خليلا كما اتخذ إبراهيم خليلا، ولو كنت متخذا من أمتي خليلا لاتخذت أبا بكر خليلا، ألا وإن من كان قبلكم كانوا يتخذون قبور أنبيائهم مساجد، ألا فلا تتخذوا القبور مساجد فإني أنهاكم عن ذلك”

“Sungguh, Aku berlepas diri atas nama Allah untuk memiliki seorang khalil (kekasih yang sangat dekat) dari kalian, karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan aku sebagai khalil-Nya, sebagaimana Ia telah menjadikan Ibrahim sebagai khalil-Nya. Seandainya aku boleh mengambil seorang khalil dari umatku, maka aku akan jadikan Abu Bakar sebagai khalil-ku. Dan ketahuilah, bahwa sesungguhnya umat-umat sebelum kalian telah menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai tempat ibadah, dan ingatlah, janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai tempat beribadah, karena aku benar-benar melarang kalian dari perbuatan itu”.
Rasululloh ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam di akhir hayatnya -sebagaimana dalam hadits Jundub- telah melarang umatnya untuk tidak menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah. Kemudian ketika dalam keadaan hendak diambil nyawanya –sebagaimana dalam hadits Aisyah- beliau melaknat orang yang melakukan perbuatan itu, dan sholat di sisinya termasuk pula dalam pengertian menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah, walaupun tidak dijadikan bangunan masjid, dan inilah maksud dari kata-kata Aisyah radhiyAllahu‘anha.:“… dikhawatirkan akan dijadikan sebagai tempat ibadah.”
Dan para sahabat pun belum pernah membangun masjid (tempat ibadah) di sekitar kuburan beliau, karena setiap tempat yang digunakan untuk sholat berarti telah dijadikan sebagai masjid, bahkan setiap tempat yang dipergunakan untuk sholat disebut masjid, sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasul ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam,

“جعلت لي الأرض مسجدا وطهورا”.

“Telah dijadikan bumi ini untukku sebagai masjid dan suci”.
Dan Imam Ahmad meriwayatkan hadits marfu’ dengan sanad yang jayyid (bagus), dari Ibnu Mas’ud radhiyAllahu‘anhu, bahwa Nabi Muhammad ShallAllahu’alaihi wa Sallam bersabda,

“إن من شرار الناس من تدركهم الساعة وهم أحياء، والذين يتخذون القبور مساجد”.

“Sesungguhnya, termasuk sejelek-jelek manusia adalah orang yang masih hidup saat hari kiamat tiba, dan orang yang menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah (masjid)” (HR. Abu Hatim dalam kitab shohihnya).
Ghuluw Terhadap Orang Shalih Merupakan Akar Kesyirikan Dari Masa Ke Masa Hingga Melanda Indonesia[9]
Salah satu penyakit akidah yang menjangkiti Ummat Islam di Indonesia adalah kegemarannya mengagungkan kuburan nenek moyang dan sosok yang dianggap shalih, untuk dijadikan perantara meminta berkah, kesehatan, minta anak, jodoh, jabatan, dan berbagai hajat lainnya.
Kenyataan adanya kepercayaan yang salah bahkan merusak aqidah Islam, contohnya keberadaan makam Walisongo tidak lepas dari mitos, seperti jika orang punya tujuan tertentu berziarah ke makam Walisongo maka doa-doanya akan dikabulkan.
Banyaknya makam yang dikeramatkan di berbagai tempat itu menjadikan keprihatinan para ulama yang masih punya kepedulian dan menyayangi Ummat Islam agar tidak terjerumus ke dalam kesesatan yang nyata.
Seorang Syaikh dari Timur Tengah yang berceramah di Radio Rodja Cilengsi Bogor diterjemahkan Ustadz Zaenal Abidin bin Syamsuddin, Selasa 05 Oktober 2010 tentang pentingnya Tauhid menyebutkan, di dunia Islam ada 20.000 kuburan yang dikeramatkan, yang dapat mengakibatkan pelakunya melakukan kemusyrikan yang mengeluarkan dari Islam.

Kalau pun tidak sampai terjerumus ke dalam kubangan kemusyrikan, masalah yang berkaitan dengan kuburan ini menimbulkan pula amaliah yang belum tentu sesuai dengan syari’at. Termasuk, sekedar membaca Al-Qur’an di kuburan. Membaca Al-Qur’an di kuburan merupakan amalan yang tidak ada tuntunannya, namun oleh mereka diyakini sebagai amal baik yang layak dilakukan saat melakukan ziarah kubur.
Penyimpangan yang jauh dari Islam itu lebih jauh lagi ketika tujuan orang-orang yang berziarah kubur pun mengikuti penuturan para juru kunci, untuk meminta apa-apa yang dihajatkan. Bahkan ada juru kunci yang mencatat hajat masing-masing peziarah untuk dijadikan apa yang mereka sebut pengantar dalam doa (meminta kepada mayat). Hingga kuburan-kuburan itupun dianggap ada fak-fak atau jurusan-jurusan masing-masing. Yang mau lancar rezekinya maka juru kunci menunjuki ke kuburan wali Fulan A. Yang ingin naik jabatan maka ke kuburan wali Fulan B, dan lain-lain. Betapa jauhnya hal itu dari apa yang diucapkan setiap shalat, membaca al-fatihah:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.” (QS Al-Fatihah: 5).
Larangan berdoa kepada selain Allah pun telah ditegaskan dalam Al-Qur’an:

وَلَا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ (106) وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ يُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ [يونس/106-107]

“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian), itu, maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang zhalim.(106) Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karuniaNya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Yunus : 106-107).
Berdoa adalah ibadah[10], maka orang yang berdoa memohon kepada selain Allah (seperti kepada isi kubur, roh, orang yang dipatungkan dan sebagainya) berarti adalah menyembahnya. Maka Syaikh As-Syinqithi dalam Tafsir Adhwaaul Bayan menggolongkan lafadz zhalim dalam QS Yunus : 106 (jika kamu berbuat (yang demikian), itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim) itu artinya adalah kafir. Sebagaimana dalam QS Al Baqarah : 254 dan QS Luqman : 13.
Kenyataan jauhnya praktek penyimpangan di kalangan Ummat Islam, tampaknya semakin menjadi-jadi, sedangkan secara jumlah pun semakin berkembang subur. Perlu kita tengok, gejala buruk ini mesti ada pemicunya, bahkan mungkin ada penggeraknya. Kita tengok ke-sepuluh tahun yang lalu, bagaimana keadaan yang menggiring ke arah carut marutnya pemahaman dan pengamalan Ummat Islam terhadap agamanya. Sebagai gambaran singkat, mari kita simak kutipan berikut ini:
Dalam kata pengantar buku (Hartono Ahmad Jaiz) berjudul Tasawuf, Pluralisme, dan Pemurtadan terbitan Pustaka Al-Kautsar 2001 di antaranya ditulis:
“Perlu diingat, kalimah syahadat pun diacak-acak Nurcholish Madjid dengan cara menerjemahkannya menjadi Tiada tuhan (t kecil) selain Tuhan (T besar). Sedang lafal Assalamu’alaikum diinginkan Gus Dur untuk diganti dengan selamat pagi. Kuburan pun diberi istilah “keramat” entah oleh siapa, yang kandungannya rawan syirik. Lalu Gus Dur menghidupkan Sunnah Sayyi’ah (jalan keburukan) tentang pengeramatan itu dengan menghadiri kuburan Joko Tingkir di Lamongan Jawa Timur yang tak banyak dikenal orang, akibatnya praktek rawan kemusyrikan itu marak kembali sejak Juli 1999. (Tulisan ini bukan berarti anti ziarah kubur, namun dalam hal ini jelas kaitannya dengan pengeramatan kuburan yang jelas mengandung kerawanan syirik). Sementara itu pihak Nasrani lewat Nehemia-nya mengacak-acak Islam dengan menyebarkan lembaran-lembaran yang disebut “Dakwah Ukhuwah” padahal isinya memutar balikkan ayat-ayat Al-Quran dan Al-Hadits.” (Kata Pengantar buku Hartono Ahmad Jaiz, berjudul Tasawuf, Pluralisme, dan Pemurtadan terbitan Pustaka Al-Kautsar 2001).
Wahai saudaraku –semoga Allah merahmati Anda-, dari keadaan ditulisnya peristiwa itu hingga kini jaraknya hanya dalam masa sepuluhan tahun, tetapi ternyata perusakan agama itu sudah sedemikan dahsyat dampaknya. Di antaranya:
1. Pluralisme agama yang bahasa Islamnya adalah kemusyrikan baru (namun karena istilahnya tidak diambil dari istilah Islam maka Ummat Islam tidak faham) sudah merambah ke mana-mana. Sampai-sampai diselenggarakan perayaan lintas agama di Senayan Jakarta, Ahad 06 Februari 2011, bahkan tokoh utamanya adalah ketua umum Muhammadiyah Din Syamsuddin dan direncanakan akan didatangkan 10.000-an orang dari berbagai agama. Acara itu disertai pula doa bersama antar agama, yang tentu saja hal itu sama sekali tidak sesuai dengan Islam. Sebagaimana telah berlangsung acara yang mengagetkan, apa yang disebut haul memperingati kematian Gus Dur tahun pertama Desember 2010 diadakan doa bersama antar agama dan tahlilan serta yasinan di gereja di Jombang. Itu di samping acara lainnya, haul Gus Dur disertai tahlilan dengan diadakan pula arak-arakan barongsai dari keyakinan Konghucu Cina. (innalillahi wainnailaihi raaji’uun -red)
2. Kubur-kubur yang dikeramatkan pun semakin mengkristalkan sikap mengagungkan yang luar biasa, hingga satu kuburan keramat di Tanjung Priok Jakarta (kuburan Mbah Priok) mampu mengerahkan pembela-pembelanya sampai ribuan orang dan ada yang masih dibawah umur (atau anak-anak). Bahkan memperjuangkan entitasnya seolah seperti berjihad dalam agama, ketika membela kuburan yang mereka anggap keramat. (lihat buku Pendangkalan Akidah Berkedok Ziarah di Balik Kasus Kuburan Keramat Mbah Priok).
Demikianlah di antara fenomena ghuluw terhadap kuburan orang sholeh, bahkan seiring berjalannya waktu, ghuluw tersebut tidak hanya ditujukan kepada orang-orang yang benar-benar sholeh, akan tetapi dapat kita saksikan yang ada di sekitar kita yaitu di Indonesia bahwasannya orang-orang yang dianggap sholeh itu semasa hidupnya juga dekat dengan kesyirikan dan berbagai penyimpangan. Wallahu a’lam.
Sungguh sesuai jika di sini dinukilkan sedikit dari sya’ir al-‘Allamah Sulaiman bin Sahman rohimahullohu, dia mengungkapkan :
Millah Ibrahim telah ditinggalkan, tidak ada berbekas sama sekali dan ia pun tidak memiliki lagi tanda-tanda.

Agama itu telah sirna di hadapan kita. Bagaimana tidak? Sungguh, bagaikan debu diterpa angin dari segala penjuru.

Agama itu hanyalah kecintaan, kebencian, dan kesetiaan, serta pelepasan diri dari setiap orang yang sesat dan berdosa.

Tidak ada lagi orang yang beribadah berpegang teguh dengan millah putera Hasyim, Nabi yang berasal dari Mekkah.

Sementara, kita tidak memandang apa yang menimpa dien dan memupus agama yang lurus ini sebagai suatu bencana.

Kita sedih atas kelalaian kita dan memohon kepada Allah agar mengampuni dosa-dosa besar.

Kita pun mengadukan kepada-Nya hati-hati yang telah membatu, dan ternista oleh berbagai maksiat.

Bukankah bila kita kedatangan orang yang lalim yang berlumuran dengan noda-noda ahli syirik,

kita pun bersenang hati menghaturkan salam penghormatan dan sanjungan, serta bersegera menyajikan hidangan.

Rasululloh al-Ma’shum berlepas diri dari setiap Muslim yang menetap di negeri syirik tanpa melakukan pemutusan.

Namun, akal kita hanya mencari kehidupan dunia

mau menerima setiap ahli maksiat lagi pendosa.

Jika yang demikian itu berlangsung pada zamannya, lalu bagaimana yang terjadi pada zaman sekarang ini? Kita memohon kepada Allah keselamatan bagi kita dan kaum muslimin di dunia dan di akhirat[11].
Jalan yang benar adalah agama yang dibawa Muhammad ShallAllahu’alaihi wa Sallam, sedangkan jalan yang sesat adalah agama Abu Jahal. Sementara ‘urwatul wutsqaa (ikatan yang paling kuat) adalah syahadat bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Allah. Syahadat yang mencakup nafi (peniadaan) dan itsbat (penegasan), menafikan segala macam ibadah selain kepada Allah, dan menegaskan bahwa segala macam ibadah –secara keseluruhan- hanya bagi Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya.[12]
Akhirnya, segala puji bagi Allah Rabbul ‘Alamin, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi kita, Muhammad ShallAllahu’alaihi wa Sallam, keluarganya, dan para shahabatnya.
***

—–Footnote:

[1] Khud ‘aqiidataka hlm. 14-15

[2] Khud ‘aqiidataka hlm. 14

[3] Al Waajibaat hlm. 8

[4]Dirujuk dari (http://aqidah-wa-manhaj.blogspot.com/search?q=ghuluw) atau (http://bahaya-syirik.blogspot.com)

[5] Syarah Kitab Tauhid Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab at-Tamimi, pensyarah Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh, hlm.122-129

[6] Kitab Al Mindzooru hlm. 12

[7] Buku ‘Hal-hal yang Wajib Diketahui Setiap Muslim’ hlm.302

[8] Syarah Kitab Tauhid Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab at-Tamimi, pensyarah Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh, hlm. 130-139

[9] Dirujuk dari (http://www.nahimunkar.com/gejala-buruk-pengkeramatan-kuburan/..)

[10] Khud ‘aqiidataka hlm. 15-16

[11] Dikutip dari Buku ‘Hal-hal yang Wajib Diketahui Setiap Muslim’ dengan sedikit perubahan.

[12] Al Waajibaat hlm. 13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar