KANDUNGAN HADITS
Hadits di atas memiliki beberapa hal penting untuk kita cermati sekaligus fahami, diantaranya adalah: [Lihat Syarh Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah (hal. 18)]
1. Allah berada di atas langit, istiwa’ di atas ‘arsy-Nya.
Hadits di atas merupakan bukti yang terang dan jelas yang menyebutkan bahwa Allah berada tinggi di atas sekalian makhluk-Nya. Karena jika benar perkataan sebagian orang bahwa Allah berada dimana-mana maka tidak akan dikatakan bahwa Allah turun, sebab Allah sudah berada dimana-mana, termasuk di bumi atau di langit dunia.
Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini terdapat dalil yang menyebutkan bahwa Allah berada di atas langit, (istiwa’) di atas ‘arsy sebagaimana dikatakan oleh para ulama. Dan hadits ini termasuk dalam salah satu hujjah para ahlus sunnah terhadap kelompok Mu’tazilah dan Jahmiyah yang mengatakan bahwa Allah ada dimana-mana dan bukan di atas ‘arsy.” [Lihat At-Tamhid(III/338),Kitab At-Tauhid(hal. 126), danDar’u Ta’arudz Al-‘Aqli wan Naqli(VII/7]
2. Allah memiliki sifat kalam (bicara).
Disebutkan dalam hadits di atas bahwa Allah akan menjawab do’a-do’a hamba-Nya. Sebagaimana disebutkan juga dalam firman-Nya,
وَكَلَّمَ اللهُ مُوسَى تَكْلِيْمًا …
Artinya: “Dan Allah berbicara kepada Musa secara langsung…” (Qs. An-Nisa’: 164)
3. Penetapan sifat fi’liyyah bagi Allah, yaitu turunnya Allah ke langit dunia, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan cara yang Dia kehendaki.
4.Waktu yang paling baik bagi seorang hamba adalah pada sepertiga malam terakhir.
Sepertiga malam terakhir merupakan waktu yang paling baik untuk berdzikir dan bermunajat kepada Allah, karena saat itulah ketika Allah berada paling dekat dengan hamba-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat,
أَقْرَبُ مَا يَكُوْنُ الرَّبُّ مِنَ الْعَبْدِ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ الْآخِرِ، فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تَكُوْنَ مِمَنْ يَذْكُرُ الله فِي تِلْكَ السَّاعَةِ فَكُنْ .
“Keadaaan paling dekat antara Rabb dengan hamba-Nya adalah pada waktu separuh malam terakhir. Oleh karena itu, jika engkau bisa menjadi orang yang berdzikir kepada Allah ketika itu maka lakukanlah.” [Hadits shahih, riwayat Tirmidzi (no. 3579), Abu Dawud (no. 1277), dan An-Nasa’i (no. 572), dari jalur ‘Amru bin Abasah radhiyallahu’anhu]
***
Hadits di atas telah dinukil dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara mutawatir dari zaman ke zaman. Para ulama telah bersepakat bahwa hadits ini adalah salah satu hadits yang masyhur dan menjadi “buah bibir” dikalangan para ulama ahli hadits. Oleh karena itu, wajib bagi setiap Muslim untuk menerima dan mengimani hadits tersebut sebagaimana teksnya.
Adapun turunnya Allah Tabaraka wa Ta’ala ke langit dunia pada setiap sepertiga malam terakhir merupakan sifat fi’liyyah Allah. Turunnya Allah tidaklah sama dengan turunnya manusia dari atas ke bawah, yang mana ketika dia turun maka akan ada atap atau langit yang menaunginya, sedangkan Allah Maha Suci dari hal-hal yang demikian itu dan tidak serupa dengan makhluk-Nya. Dia turun ketika Dia menghendaki dan kapan saja saat Dia menghendaki.
Adapun makna turun telah diketahui (ma’lum), tetapi bagaimana sifat turunnya Allah tidaklah diketahui secara jelas dan pasti (majhul), sementara mengimaninya adalah wajib, dan mempertanyakannya adalah suatu bentuk kebid’ahan.
Cukuplah bagi kita untuk mengimani bahwa Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam dengan cara yang Dia kehendaki, sebagaimana pula Dia mengatur kehidupan dan keseimbangan alam semesta dengan cara yang Dia kehendaki. Kita tidak pernah diperintahkan untuk memberat-beratkan diri kita dalam memikirkan hal-hal yang ilmunya ada disisi Allah. Allah hanya memerintahkan kita untuk tetap beriman kepada khabar-khabar shahih yang dinukil dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Barang siapa berpendapat sesuai dengan jama‘ah kaum muslimin maka berarti ia berpegang kepada jama‘ah mereka. Dan barang siapa yang menyelisihi jama‘ah kaum muslimin maka ia menyelisihi jama‘ah, padahal dia diperintahkan untuk mengikutinya. Sesungguhnya kesalahan itu ada dalam perpecahan, adapun jama‘ah maka tidak mungkin semuanya bersatu untuk menyelisihi Al-Qur’an, as-sunnah, dan qiyas, insya Allah.” [Lihat Ar-Risalah (hal. 475-476)]
والله تعالى أعلم
سبحانك اللهم وبحمدك أشهـد أن لا إله إلا أنت، استغـفـرك وأتوب إليك
***
Maraji’:
1. Al-Muwaththa’ Imam Malik, Imam Malik bin Anas, cet. Maktabah Al-Furqan.
2. ‘Aqidah As-Salaf wa Ash-habul Hadits, Imam Ash-Shabuni, cet. Darul ‘Ashimah, Riyadh.
3. Ar-Risalah, Imam Muhammad bin ‘Idris Asy-Syafi’i, tahqiq dan syarah: Ahmad Muhammad Syakir, cet. Maktabah Darut Turats, Kairo.
4. Asy-Syari’ah. Imam Al-Ajurri, cet. Mausu’ah Qurthubah.
5. Ijtima’ul Juyusy Al-Islamiyyah ‘ala Ghazwil Mu’aththilah wal Jahmiyyah, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, tahqiq: Basyir Muhammad ‘Uyun, cet. Maktabah Darul Bayan, Beirut.
6. Kitab As-Sunnah, Al-Hafizh Ibnu Abi ‘Ashim, cet. Al-Maktab Al-Islamiy, Amman.
7. Mukhtashar Al-‘Uluw lil ‘Aliyyil ‘Azhim, Imam Abu ‘Abdillah Muhammad Adz-Dzahabi, tahqiq: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, cet. Al-Maktab Al-Islami, Amman.
8. Mukhtashar Shawa’iq Al-Mursalah ‘Alal Jahmiyyah wal Mu’aththilah, Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, cet. Maktabah Adhwa’us Salaf, Riyadh.
9. Shahih Al-Bukhari, Imam Al-Bukhari, cet. Dar Ibnu Katsir, Damaskus.
10. Shahih Muslim, Imam Muslim, cet. Dar Al-Mughni, Saudi Arabia.
11. Sunan Abu Dawud, Imam Abu Dawud, cet. Maktabah Al-Ma’arif, Riyadh.
12. Sunan At-Tirmidzi, Imam At-Tirmidzi, cet. Maktabah Al-Ma’arif, Riyadh.
13. Sunan Ibnu Majah, Imam Ibnu Majah, cet. Maktabah Al-Ma’arif, Riyadh.
14. Syarh ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cet. Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Jakarta.
15. Syarh ‘Aqidah Al-Wasithiyyah, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, cet. Dar Ibnul Jauzi, Riyadh.
16. Syarh Hadits An-Nuzul, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq: Muhammad bin ‘Abdurrahman Al-Khumaiyis, cet. Darul ‘Ashimah, Riyadh.
17. Syarh I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Imam Al-Lalika’i, cet. Dar Al-Hadits, Kairo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar