A. Pengertian Madzhab Fiqih[1]
1. Bahasa
Secara bahasa, kata madzhab (مذهب) merupakan kata bentukan dari kata dasar dzahaba (ذهب) yang artinya pergi. Madzhab adalah bentuk isim makan dan juga bisa menjadi isim zaman dari kata tersebut, sehingga bermakna:
الطريق ومكان الذهاب وزمانه
Artinya: Jalan atau tempat untuk pergi, atau waktu untuk pergi.
Ahmad ash-Shawi al-Maliki menyebutkan bahwa makna etimologis dari madzhab adalah[2]:
محل الذهاب كالطريق المحسوسة
Artinya: Tempat untuk pergi, seperti jalanan secara fisik.
2. Istilah
Adapun makna madzhab secara istilah yang digunakan dalam ilmu fiqih, az-Zarqani mendefinisikannya sebagai[3]:
ما ذهب إليه إمام من الأئمة في الأحكام الإجتهادية
Artinya: Pendapat yang diambil oleh seorang imam dari para imam dalam masalah yang terkait dengan hukum-hukum ijtihadiyah.
Pendapat yang diambil oleh seorang imam ini kemudian diikuti oleh muridnya dari generasi ke generasi, inilah yang kemudian dikenal sebagai madzhab fiqih.
B. Munculnya Madzhab Fiqih
Munculnya madzhab fiqih bisa dikatakan merupakan konsekuensi dari adanya fiqih itu sendiri. Fiqih yang didefinisikan sebagai “ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang praktis yang digali dari dalil-dalilnya yang terperinci”[4] meniscayakan adanya upaya yang sungguh-sungguh dari para ulama untuk memahami fiqih tersebut dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Dari keniscayaan di atas, terbuka peluang terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama, baik perbedaan tersebut adalah dalam memahami nash, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah, yang penunjukannya zhanni maupun perbedaan dalam metode ijtihad seperti perbedaan tentang apa saja yang layak menjadi sumber istinbath hukum syara’[5].
Meski fiqih dan ijtihad telah ada sejak masa awal Islam, bahkan sudah ada di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun madzhab fiqih, sebagaimana yang kita kenal sekarang, baru tumbuh dan berkembang sejak awal abad ke-2 hijriyah.
Di masa Rasulullah, umat Islam selalu merujuk kepada Rasul untuk memecahkan berbagai persoalan kehidupan mereka. Kadang-kadang shahabat berijtihad dalam suatu perkara, berdasarkan pemahamannya terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah ketika mereka kesulitan untuk langsung merujuk kepada Rasul, misalnya ketika mereka sedang dalam perjalanan atau diutus Rasul ke suatu negeri.
Pasca wafatnya Rasulullah, para shahabat menemui fakta-fakta baru yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Mereka kemudian berijtihad untuk menghukumi fakta-fakta tersebut berdasarkan pemahaman mereka terhadap nash-nash syara’ dan pengetahuan mereka mengenai nash-nash tersebut yang mereka peroleh melalui perkataan langsung Rasulullah dan persaksian mereka terhadap turunnya ayat-ayat serta penerapannya terhadap peristiwa tersebut.
Kadang-kadang, jika seorang shahabat tidak mengetahui nash syara’ tentang suatu perkara, mereka akan bertanya kepada shahabat yang lain. Beginilah fiqih para shahabat, dan berdasarkan inilah mereka memberikan fatwa kepada umat Islam. Mereka semua menggunakan metode yang sama dalam berfatwa. Perbedaan di antara mereka hanyalah pada pemahaman terhadap nash, bukan dalam metode ijtihad.[6]
Setelah generasi shahabat, muncullah generasi tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Di masa mereka inilah fiqih berkembang dan tersistematis. Di masa mereka ini juga muncul madzhab-madzhab fiqih. Di masa ini, tidak hanya ada empat madzhab, lima, atau enam, namun terdapat cukup banyak madzhab dan saat itu banyak sekali mujtahid, baik yang memiliki madzhab ataupun tidak.
Masing-masing mujtahid tersebut memiliki kaidah dan metode tersendiri dalam berijtihad. Sebagian mujtahid memiliki murid dalam jumlah yang cukup banyak. Murid-murid mereka ini, yang sebagiannya juga adalah mujtahid, kemudian menyebarkan pendapat-pendapat gurunya dan menjelaskan madzhabnya.
Beberapa imam mujtahid yang memiliki murid yang cukup banyak dan menyebarkan madzhab mereka misalnya adalah Abu Hanifah, Ja’far ash-Shadiq, Zaid ibn ‘Ali ibn al-Husain, Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad ibn Hanbal. Dari murid-murid mereka inilah, madzhab mereka tersebar dan berkembang. Sedangkan sebagian mujtahid lain, semisal al-Auza’i, al-Hasan al-Bashri, ats-Tsauri dan Ibn Jarir ath-Thabari tidak memiliki pengikut yang menyebarkan pendapat-pendapat mereka. Akhirnya madzhab mereka tidak berkembang dan hilang ditelan zaman.
Terbentuknya berbagai madzhab fiqih, seperti sudah disinggung di atas, muncul karena perbedaan metode ijtihad para imam mujtahid. Imam mujtahid ini kemudian menyebarkan pendapat mereka kepada murid-muridnya. Sebagian murid mereka ini kemudian mengikuti metode ijtihad guru-guru mereka, bahkan mengikuti pendapat-pendapat sang guru dalam cabang-cabang hukum syara’. Murid-murid mereka ini jugalah, dari generasi ke generasi, yang membakukan metode ijtihad sang guru dan membukukannya.[7]
C. Perkembangan Madzhab Fiqih, Dulu dan Sekarang
Seperti dikemukakan sebelumnya, di masa awalnya, madzhab fiqih cukup banyak, mengikuti banyaknya mujtahid mutlak yang ada di masa tersebut. Setelah itu, beberapa madzhab fiqih menghilang seiring wafatnya para pengikutnya, sedangkan sebagian lagi masih bertahan dan berkembang sampai sekarang.
Secara sederhana, fase perkembangan madzhab fiqih bisa kita bagi menjadi beberapa periode yaitu:[8]
1. Sejak awal abad ke-2 hingga pertengahan abad ke-4 hijriyah. Di masa ini, terutama di awal-awalnya, lahir banyak sekali mujtahid mutlak yang sebagiannya mendirikan madzhab fiqih. Mereka kemudian diikuti oleh murid-muridnya yang sebagian juga adalah mujtahid sebagaimana guru mereka. Periode ini boleh dikatakan sebagai periode keemasan, karena begitu banyak mujtahid yang lahir, baik mereka memiliki metode ijtihad tersendiri, maupun yang mengikuti metode ijtihad guru mereka.
2. Akhir abad ke-4 sampai jatuhnya Baghdad, pusat ilmu dan peradaban Islam, di tangan Tartar pertengahan abad ke-7 hijriyah. Periode ini dikenal sebagai masa statis dan berkembangnya taqlid. Di periode ini juga, al-Qaffal memfatwakan ditutupnya pintu ijtihad. Meskipun begitu, di masa ini masih lahir beberapa mujtahid. Pada fase ini madzhab fiqih begitu kuat melembaga. Kitab-kitab fiqih madzhab, baik dalam bentuk mukhthashar, syarah, maupun hasyiyah banyak ditulis.
3. Pertengahan abad ke-7 hingga akhir abad ke-13 hijriyah. Periode ini dikenal dengan periode kemunduran total. Taqlid semakin kuat, ijtihad semakin terkikis dan bahasa Arab mulai ditinggalkan. Meskipun begitu, di periode ini lahir juga beberapa mujtahid dan ulama yang menonjol semisal Ibn Taimiyah, Ibn Hajar, as-Suyuthi dan asy-Syaukani. Periode ini dikatakan sebagai periode kemunduran total karena secara umum umat Islam sudah dihinggapi penyakit taqlid yang akut dan hanya sedikit orang yang mampu berijtihad. Bahkan terkadang seorang yang telah layak berijtihad tidak berani berijtihad karena opini umum saat itu yang menafikan adanya orang yang layak berijtihad. Pada periode ini madzhab fiqih semakin menguat, namun keluar dari semangat asal adanya madzhab fiqih.
4. Akhir abad ke-13 hijriyah hingga sekarang. Di periode ini dunia Islam mengalami kemunduran total lebih dari sebelumnya. Perundang-undangan Islam tercampur dengan undang-undang kufur. Pada akhir masa Daulah ‘Utsmaniyah, kebodohan orang terhadap Islam dan kebodohan para fuqaha[9] menjadi penyebab yang paling signifikan dalam kemerosotan kaum muslim serta lenyapnya negara mereka. Pada saat itu terdapat para fuqaha jumud yang selalu siap berfatwa dengan mengharamkan segala hal yang baru, dan mengkafirkan semua pemikir (intelektual). Meskipun begitu, semenjak runtuhnya Daulah ‘Utsmaniyah, pemikiran umat Islam mulai berkembang kembali. Hal ini bisa dilihat dari lahirnya beberapa ulama pemikir yang juga mujtahid di tengah-tengah umat.
Dari pemaparan di atas, bisa dikatakan bahwa keberadaan madzhab fiqih pada awalnya berkontribusi sangat positif bagi perkembangan pemikiran Islam, khususnya fiqih Islam. Dengan adanya madzhab fiqih ini, di masa-masa awalnya, terbentuklah peradaban keilmuan Islam[10]. Orang-orang yang ingin ber-tafaqquh fid diin akan menuntut ilmu kepada guru-guru yang kapabel dari madzhab-madzhab yang ada, sampai mereka menjadi seorang yang faqiih[11]. Adanya madzhab fiqih ini mampu mengeliminasi orang-orang yang belum layak untuk tampil ke depan, mengajar dan memberi fatwa.
Namun, dalam perkembangannya, sisi positif ini semakin memudar seiring dengan menguatnya taqlid dan fanatisme madzhab. Banyak pemuka madzhab yang kemudian lebih menyibukkan diri untuk membela madzhab mereka, baik ushul maupun furu’-nya, dibanding mengkaji nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Mereka tidak kembali kepada nash al-Qur’an dan as-Sunnah kecuali untuk membela madzhab imam mereka.
Kondisi ini juga lah yang menyebabkan kemunduran pemikiran umat Islam. Umat Islam lebih menyibukkan diri untuk menghafal dan membela pendapat madzhabnya, dibandingkan mengkaji secara serius nash al-Qur’an dan as-Sunnah serta metode untuk melakukan penggalian hukum dari keduanya. Wajar kemudian tak banyak lagi ulama yang mampu berijtihad.
Dari sini bisa kita pahami, fatwa ditutupnya pintu ijtihad hanya merupakan akumulasi dari fakta yang ada saat itu. Bahkan, saking rendahnya taraf berpikir ulama saat itu, mereka bahkan menyatakan bahwa taqlid kepada suatu madzhab wajib bagi seorang muslim. Saking parahnya sikap taqlid mereka, mereka bahkan menyatakan bahwa setiap ayat atau hadits yang bertentangan dengan apa yang diikuti oleh madzhab mereka, maka ia ditakwil atau di-nasakh.[12]
Saat ini, meskipun sudah banyak ulama yang melepaskan taqlid kepada satu madzhab, namun kejumudan dan fanatisme madzhab masih kuat terasa.
D. Haruskah Kita Bermadzhab?
Esensi pertanyaan sub-judul ini perlu dijelaskan dulu. Dengan pertanyaan semacam ini, apapun jawaban dan kesimpulannya nanti, kita tidak sedang mengkampanyekan sikap anti madzhab. Seperti sudah dipaparkan sebelumnya, keberadaan madzhab fiqih di masa awalnya berhasil membangun peradaban keilmuan Islam, sampai pada tingkat yang menakjubkan. Tentu mengharamkan adanya madzhab fiqih dan mencela semua yang terkait dengannya adalah sebuah kekonyolan. Pertanyaan di sub-judul ini lebih pada pengkajian tentang keharusan bermadzhab, apakah ia memang dituntut bagi setiap muslim atau tidak.
Kita memahami bahwa tidak seluruh orang bisa melakukan ijtihad sendiri, bahkan shahabat Rasulullah sekalipun. Hal ini meniscayakan adanya sekelompok umat Islam yang menjadi muqallid, dan hal ini tak dicela. Allah ta’ala bahkan memerintahkan kita untuk bertanya kepada orang yang ‘alim jika kita tidak tahu. Ia berfirman:
وما أرسلنا من قبلك إلا رجالا نوحي إليهم فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون
Artinya: Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali para lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka. Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui. [an-Nahl ayat 43][13]
Kita juga memahami bahwa ijtihad bukanlah perkara yang mudah. Ia membutuhkan seperangkat pengetahuan yang wajib dimiliki, serta kesungguhan upaya dalam melakukan istinbath. Namun, kita juga tak bisa mengatakan bahwa di suatu masa tak seorang pun yang memiliki potensi dan kemampuan untuk berijtihad.
Dari sini bisa kita simpulkan, bahwa di setiap masa selalu ada yang hanya bisa menjadi muqallid, karena kondisinya memang menjadikannya demikian. Sebaliknya, juga selalu ada orang yang memiliki potensi untuk menjadi mujtahid, bahkan mujtahid mutlak. Terhadap orang-orang yang hanya bisa menjadi muqallid, wajar jika mereka kemudian mengikuti salah satu madzhab tertentu[14]. Sebaliknya, terhadap orang yang punya potensi menjadi mujtahid mutlak, memaksa mereka untuk mengikuti madzhab tertentu dan bertaqlid dengan madzhab tersebut, adalah kezhaliman terhadapnya sekaligus mematikan potensinya yang sebenarnya sangat bermanfaat bagi umat Islam[15].
Dari sisi yang lain, Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa[16] menyatakan bahwa tidak wajib bagi siapapun dari umat Islam untuk bertaqlid kepada seorang ulama dalam setiap pendapatnya dan tidak wajib juga mengikatkan diri dengan salah satu madzhab. Umat Islam hanya boleh mengikatkan diri dengan apa yang dikatakan oleh Rasul, bukan selainnya. Beliau berdalil dengan firman Allah ta’ala berikut ini:
يا أيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر ذلك خير وأحسن تأويلا
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kalian. Dan jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al- Quran) dan Rasul (as-Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [an-Nisaa’ ayat 59]
Pendapat Ibn Taimiyah ini adalah pendapat yang benar. Karena tak ada satu dalil pun yang mewajibkan kita untuk terikat dengan salah satu madzhab dari madzhab-madzhab yang ada. Bahkan, Imam Malik (pendiri Madzhab Maliki) menyatakan:
إنما أنا بشر أخطىء وأصيب فانظروا في قولي فكل ما وافق الكتاب والسنة فخذوا به وما لم يوافق االكتاب والسنة فاتركوه
Artinya: Sesungguhnya saya hanyalah manusia biasa yang bisa salah dan bisa benar. Lihatlah setiap perkataanku, jika itu sesuai dengan al-Kitab dan as-Sunnah, maka ambillah. Dan jika tidak sesuai dengan al-Kitab dan as-Sunnah, maka tinggalkanlah.[17]
Dari pemaparan di atas, bisa kita simpulkan beberapa hal, yaitu:
1. Bagi seorang muqallid ‘aam, boleh mengikuti madzhab tertentu dan mengikatkan diri dengannya, misalnya karena meyakini pendiri madzhab tersebut adalah seorang yang sangat ‘alim dan wara’.
2. Bagi seorang muqallid muttabi’, dianjurkan untuk mengikuti hujjah yang terkuat yang dikemukakan oleh para mujtahid tanpa harus mengikatkan diri dengan salah satu madzhab saja. Namun, hal ini pun harus dilakukan dengan ilmu, agar tidak terjatuh kepada mengikuti hawa nafsu, misalnya dengan mengikuti pendapat yang paling ringan dalam setiap persoalan.
3. Bagi seseorang yang memiliki potensi sebagai mujtahid, ia harus didorong untuk meningkatkan kapasitas dirinya agar mampu berijtihad. Orang seperti ini tak seharusnya dipaksa untuk bermadzhab.
Secara umum, boleh kita katakan, yang harusnya dilakukan oleh para ulama dan thalibul ‘ilmi di masa sekarang bukanlah mengkampanyekan wajibnya atau keharusan mengikuti salah satu madzhab fiqih yang ada, melainkan menciptakan kondisi yang kondusif untuk lahirnya mujtahid-mujtahid baru.
Wallahu a’lam bish shawwab.
Catatan Kaki:
[1] Dinukil secara bebas dari modul ‘Pengantar Ilmu Fiqih’ tulisan ust. Ahmad Sarwat, Lc
[2] Ash-Shawi, Hasyiyah ash-Shawi ‘Ala Syarh ash-Shaghir li ad-Dardir, jilid 1 hal. 16
[3] Az-Zarqani, Syarh az-Zarqani ‘Ala Syarh al-Qani, hal. 133
[4] Definisi ini merupakan definisi yang dikemukakan oleh Syaikh ‘Atha Abu ar-Rasytah di kitab beliau Taysir al-Wushul ila al-Ushul hal. 6. Redaksi Arabnya adalah: العلم بالأحكام الشرعية العملية المستنبطة من أدلتها التفصيلية. Bandingkan definisi ini dengan definisi yang dikemukakan oleh Taqiyuddin as-Subki dan Jamaluddin al-Isnawi sebagai berikut: العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية.
[5] Tentang perselisihan metode ijtihad ini telah dibahas cukup lengkap oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di kitab beliau asy-Syakhshiyah al-Islamiyyah juz 1.
[6] Lihat asy-Syakhshiyah al-Islamiyah juz 1 hal. 367-375
[7] Lihat ibid hal. 386-390
[8] Pembagian periode ini saya susun sendiri dari penggabungan beberapa referensi
[9] Ini pernyataan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Fakta ini menunjukkan bahwa terkadang orang yang disebut sebagai fuqaha tidak benar-benar faqiih dalam makna sebenarnya
[10] Khususnya dalam bidang fiqih Islam, karena jika menyebut peradaban Islam, tentu maknanya lebih luas dari sekedar fiqih Islam
[11] Hal ini karena di masa-masa awalnya, madzhab fiqih masih serius dalam pengkajian dalil dan metode istinbath. Lihat asy-Syakhshiyah al-Islamiyah juz 1 hal. 392-393
[12] Lihat ibid
[13] Ayat ini sering dikemukakan para ulama sebagai dalil dibolehkannya taqlid
[14] Hal ini pun perlu dijabarkan lagi, karena muqallid ada yang ‘aam ada yang muttabi’. Untuk muqallid muttabi’, tentu dianjurkan untuk mengikuti hujjah terkuat semampu mereka dari beberapa pendapat mujtahid, bukan malah mengikatkan diri dengan salah satu madzhab tertentu.
[15] Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di kitab asy-Syakhshiyah al-Islamiyah juz 1 memaparkan urgensi ijtihad dan adanya mujtahid di setiap masa. Umat Islam di setiap masa selalu memerlukan hadirnya para mujtahid untuk memecahkan berbagai persoalan di tengah-tengah mereka
[16] Lihat Majmu’ al-Fatawa juz 20 hal. 208-209
[17] Ibnu al-Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in, jilid 1 hal. 75
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar