Jumat, 03 Februari 2012

Makna Rahmatan Lil ‘Aalamiin, Antara Pluralisme dan Islam

Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘aalamiin, begitulah ungkapan yang sering kita dengar. Saking populernya ungkapan ini, begitu banyak orang yang menggunakannya, dengan kepentingan masing-masing, kadang tanpa mengetahui makna sebenarnya dari ungkapan tersebut.


Dalam sebuah berita di situs Republika.co.id, ketua umum Garda Bangsa, M. Hanif Dakhiri misalnya menyatakan, “Jadi, Islam Indonesia itu ya Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Itu pasti moderat, toleran, anti-kekerasan dan menolak ide negara Islam. Yang mengusung panji-panji Islam tetapi tidak rahmatan lil ‘alamin saya kira bukan Islam Indonesia. Itu Islam yang lain, yang asing dalam konteks kebudayaan masyarakat Indonesia yang majemuk.” (sumber: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/11/08/19/lq5w9t-ciriciri-islam-indonesia-islam-yang-rahmatan-lil-alamin, diakses pada tanggal 2 Februari 2012).



Di situs islamlib.com, Muzayyin Ahyar, mengutip Ulil Abshar Abdalla, menyatakan, “Kemanusiaan, tegas Ulil, adalah nilai yang sejalan dengan Islam, bukan berlawanan dengan Islam. Islam dengan pandangannya sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin mendskripsikan keuniversalan Islam tersebut. Allah bukan hanya Tuhan yang diperuntukkan bagi etnis Arab saja, tetapi semua etnis dan suku yang mengakui dzat-Nya dan menjalankan nilai universal yang merupakan the greatest goal dari sebuah praktek yang telah di buat oleh-Nya.” (sumber: http://islamlib.com/id/artikel/menyortir-aspek-lokalitas-mengambil-aspek-universalitas-islam, diakses pada tanggal 2 Februari 2012).



Marzuki Wahid, Direktur Fahmina Institute, menyatakan, “Islam-murni (puritan) bagi mereka adalah Islam sebagaimana dijalankan Rasulullah SAW selama hidupnya di Arab pada abad ketujuh Masehi di padang pasir, yang belum mengenal teknologi secanggih hari ini. Demi menjaga kemurnian ajaran Islam, penganut Islam di manapun berada diharuskan meniru dan mengikuti “Islam masa Rasulullah” dengan keseluruhan budaya dan tradisi kearabannya. Jika model Islam ini yang diikuti, maka yang terjadi adalah arabisasi, pengaraban dunia. Jika Islam adalah arabisasi, maka Islam tentu bersifat lokal, temporal, dan bernuansa politis (sebab kata “Arab” adalah konsep politik). Jika Islam bersifat lokal, temporal, dan bernuansa politis, maka tentu bertentangan dengan misi utama Islam sendiri sebagai rahmatan lil ‘alamin, menebarkan cinta-kasih kepada seluruh umat manusia di dunia dan segala ciptaan Tuhan di alam semesta.” (sumber: http://wahidinstitute.org/Opini/Detail/?id=279/hl=id/Inspirasi_Dari_Pemikiran_Gus_Dur, diakses pada tanggal 2 Februari 2012).

Lihatlah tiga contoh pernyataan di atas, semuanya memaknai Islam rahmatan lil ‘aalamiin sebagai Islam yang anti kekerasan, Islam yang toleran terhadap semua perbedaan, serta Islam yang tidak mengikuti Islam ala Arab. Jika kita telisik lebih dalam, yang dimaksud anti kekerasan oleh mereka bukanlah sekedar kekerasan fisik, namun juga kekerasan pemikiran.

Islam yang rahmatan lil ‘aalamiin, versi mereka, adalah Islam yang harus selalu menerima perbedaan yang ada di tengah-tengah umat Islam, baik perbedaan itu dalam perkara-perkara furu’i maupun ushuli. Jadi, Islam yang rahmatan lil ‘aalamiin adalah Islam yang menerima Ahmadiyah –yang menyatakan ada Nabi setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam– sebagai bagian dari Islam.

Islam yang rahmatan lil ‘aalamiin, versi mereka, adalah Islam yang mengakomodasi berbagai kemaksiatan, karena menurut mereka, tidak ada pemahaman baku terhadap kemaksiatan itu sendiri. Sebagai contoh, orang yang murtad, dalam literatur fiqih Islam, adalah pelaku kemaksiatan yang sangat besar dan layak dihukum berat, namun bagi pengusung Islam rahmatan lil ‘aalamiin, orang murtad harus dibiarkan hidup bebas dan tidak boleh diganggu sama sekali. Mengikuti perayaan agama non-Islam, dalam khazanah fiqih Islam, adalah terlarang, namun bagi pengusung Islam rahmatan lil ‘aalamiin, mengikuti misa natal di gereja sama pentingnya dengan shalat di masjid.

Bagi kelompok ini, Islam ala Arab adalah musuh utama. Jilbab (baju kurung panjang), bagi mereka, adalah pakaian wanita khas Arab dan tidak cocok dipakai di Indonesia. Hukum potong tangan bagi pencuri dan qishash bagi pelaku pembunuhan, menurut mereka adalah hukuman khas Arab yang kejam dan kurang beradab, sehingga penerapan hukuman semacam itu harus dihindari. Konsep Khilafah Islamiyah, bagi mereka adalah konsep khas Arab, dan tidak cocok untuk bangsa Indonesia yang majemuk.

Kesimpulannya adalah, Islam rahmatan lil ‘aalamiin versi Ulil dan kawan-kawan sebenarnya bukanlah Islam rahmatan lil ‘aalamiin, melainkan ‘Islam semau gue’. Demi mengusung ide pluralisme agama, mereka berani mengubah makna-makna dalam al-Qur’an, bahkan memelintir tafsirnya agar sesuai dengan pemahaman mereka. Ulil dan kawan-kawan sejatinya tidak mengusung Islam rahmatan lil ‘aalamin, melainkan sedang menjajakan pluralisme dan kekufuran berpikir dengan bungkus agama.

Makna Rahmatan Lil ‘Aalamiin yang Sebenarnya

Dalam tradisi Islam, tak semua orang boleh berbicara dan menjadi rujukan dalam agama. Ada syarat-syarat tertentu yang harus dimiliki oleh seseorang sebelum ia layak berbicara. Dan tradisi ini adalah tradisi yang baik, yang harus terus dilestarikan. Dari tradisi semacam inilah, kemurnian ajaran Islam terus bertahan selama belasan abad.

Di bidang yang berbeda pun hal ini sebenarnya ada dan terus berlaku. Sebagai contoh, seseorang tak berhak berbicara tentang dunia pengobatan dan kedokteran sebelum mendalami ilmu kedokteran yang standar selama bertahun-tahun. Seseorang tak layak dan tak berhak menjadi pilot pesawat terbang, sebelum sekolah di bidang tersebut dalam rentang waktu tertentu dan akhirnya dianggap layak menjadi pilot. Jika ada orang yang tak punya kapabilitas sebagai pilot mencoba mengemudikan pesawat terbang, kita tentu bisa membayangkan apa yang akan terjadi.

Demikian pula untuk memahami makna-makna al-Qur’an, bagi yang tak punya kapasitas keilmuan yang mencukupi, lebih baik mengikuti pendapat ‘ulama yang diakui keilmuannya. Imam Ibn Katsir rahimahullah adalah salah satu ‘ulama tafsir paling berpengaruh, dan kitab tafsir yang ditulis oleh beliau diakui selama beratus tahun sebagai salah satu kitab tafsir terbaik dan layak menjadi rujukan umat Islam.

Bagaimana Imam Ibn Katsir memahami makna rahmatan lil ‘aalamiin? Sebagaimana kita ketahui, ungkapan Islam rahmatan lil ‘aalamiin merujuk pada al-Qur’an surah al-Anbiyaa’ ayat 107, yang berbunyi:

وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين

Artinya: “Dan tidaklah Kami mengutusmu (wahai Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.

Mengomentari ayat ini, Imam Ibn Katsir berkata:

يخبر تعالى أن الله جعل محمدا صلى الله عليه وسلم رحمة للعالمين، أي: أرسله رحمة لهم كلهم، فمن قبل هذه الرحمة وشكر هذه النعمة، سعد في الدنيا والآخرة، ومن ردها وجحدها خسر في الدنيا والآخرة

Artinya: “Allah ta’ala mengabarkan bahwa Dia menjadikan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Maksudnya adalah, Allah mengutusnya sebagai rahmat bagi mereka seluruhnya. Barangsiapa menerima rahmat ini dan bersyukur atas nikmat ini, maka ia akan bahagia di dunia dan akhirat, dan barangsiapa yang menolak dan mengingkarinya, maka ia akan merugi di dunia dan akhirat.”

Setelah berkomentar seperti di atas, Imam Ibn Katsir kemudian mengutip ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan tema ini, yaitu surah Ibrahim ayat 28 dan 29, sebagai berikut:

ألم تر إلى الذين بدلوا نعمة الله كفرا وأحلوا قومهم دار البوار ؛ جهنم يصلونها وبئس القرار

Artinya: “Tidakkah engkau perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan?, Yaitu neraka Jahannam, mereka masuk ke dalamnya, dan Itulah seburuk-buruk tempat kediaman.”

Dari penjelasan Imam Ibn Katsir di atas, bisa kita pahami bahwa diutusnya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam –membawa diin Islam– merupakan rahmat atau kasih sayang bagi seluruh alam. Namun, manusia menyikapi hadirnya rahmat ini dengan dua sikap. Pertama, yang menerima rahmat ini dan mensyukuri kehadirannya. Orang-orang yang menerima rahmat ini adalah orang-orang yang menjadikan Islam –yang dibawa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam– sebagai diin mereka, mereka akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Kedua, yang menolak dan yang mengingkari, yaitu orang-orang yang menolak seruan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk hanya berpegang pada diin Islam, mereka akan merugi di dunia dan di akhirat.

Dari penjelasan Imam Ibn Katsir di atas, kita tidak menemukan makna rahmatan lil ‘aalamiin sebagaimana yang dipahami kelompok liberal dan pendukung pluralisme. Bahkan, di banyak ayat, al-Qur’an memberi garis yang sangat tegas antara keimanan dan kekufuran, antara ketaatan dan kemaksiatan.

Penjelasan yang serupa dengan yang disampaikan oleh Imam Ibn Katsir juga kita temukan di kitab at-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj karya ulama kontemporer, Dr. Wahbah az-Zuhaili hafizhahullah. Beliau mengatakan:

أي وما أرسلناك يا محمد بشريعة القرآن وهديه وأحكامه إلا لرحمة جميع العالم من الإنس والجن في الدنيا والآخرة، فمن قبل هذه الرحمة، وشكر هذه النعمة، سعد في الدنيا والآخرة، ومن ردّها وجحدها، خسر الدنيا والآخرة

Artinya: “Maknanya yaitu, dan Kami tidak mengutusmu wahai Muhammad dengan syari’ah, petunjuk dan hukum-hukum al-Qur’an kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam, dari kalangan manusia dan jin, di dunia dan akhirat. Barangsiapa yang menerima rahmat ini dan mensyukuri nikmat ini, maka ia akan bahagia di dunia dan akhirat, dan barangsiapa yang menolak dan mengingkarinya, ia akan merugi di dunia dan di akhirat.”

Lihatlah, dengan sangat tegas Dr. Wahbah az-Zuhaili menyatakan yang dimaksud dengan rahmat bagi seluruh alam itu adalah syari’ah, petunjuk dan hukum-hukum al-Qur’an yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jauh sekali dari pemahaman kalangan liberal yang memaknai Islam rahmatan lil ‘aalamiin sebagai Islam yang meniadakan banyak sekali hukum-hukum al-Qur’an hanya demi toleransi dan keragaman yang semu.

*****

Hadirnya Islam di tengah-tengah kita merupakan rahmat dari Allah subhanahu wa ta’ala. Bahkan Ibn ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, berdasarkan riwayat dari Imam ath-Thabari rahimahullah, menyatakan bahwa orang-orang kafir pun merasakan rahmat ini, yaitu dengan diselamatkannya mereka dari bencana yang ditimpakan kepada orang-orang kafir dari umat-umat terdahulu, seperti ditenggelamkan ke dalam bumi, atau ditenggelamkan ke dalam air. Tentu di akhirat orang-orang kafir ini tetap akan mendapat siksa, dan di dunia pun hidup mereka tidak akan bahagia.

Saat ini, kita berada pada dua pilihan, menerima dan mensyukuri adanya rahmat Allah ini, dengan hanya menjadikan diin Islam sebagai way of life. Atau sebaliknya, mengingkari rahmat Allah ini, dengan mengusung ide dan pemikiran yang bertentangan dengan diin Islam. Di manakah posisi kita?

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar