Sabtu, 04 Februari 2012

Hukum Berjama’ah dalam Shalat Fardhu Bagi Laki-Laki Menurut Madzhab yang Empat


Untuk tulisan kali ini saya merujuk ke kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyah terbitan Kementerian Waqaf dan Urusan Keislaman, Kuwait. Ada 5 pendapat tentang hukum berjama’ah dalam shalat fardhu bagi laki-laki menurut ulama empat madzhab. Shalat fardhu yang dimaksud di sini adalah shalat 5 waktu, tidak termasuk shalat jum’at, karena shalat jum’at ada hukum khusus. Berikut penjabarannya.
1. Sunnah Muakkadah
Ini merupakan pendapat yang paling kuat di kalangan Hanafiyah, mayoritas Malikiyah dan satu pendapat di kalangan Syafi’iyah.
2. Wajib (Menurut Istilah Hanafiyah)
Ini merupakan pendapat yang kuat di kalangan Hanafiyah. Wajib menurut mereka adalah hukum antara sunnah dan fardhu, mirip dengan sunnah muakkadah. Mereka berdalil dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:


صلاة الجماعة تفضل على صلاة الفذ بسبع وعشرين درجة
Artinya: “Shalat jama’ah lebih utama 27 derajat dibandingkan shalat sendirian .” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari ‘Abdullah ibn ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma)
Dalam riwayat lain:
بخمس وعشرين درجة
Artinya: “Lebih utama 25 derajat.” (HR. al-Bukhari dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)
3. Fardhu Kifayah
Ini merupakan pendapat yang terkuat di kalangan Syafi’iyah, juga pendapat al-Karkhi dan ath-Thahawi dari kalangan Hanafiyah, serta sebagian Malikiyah. Mereka berdalil dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
ما من ثلاثة في قرية ولا بدو لا تقام فيهم الصلاة إلا قد استحوذ عليهم الشيطان، فعليك بالجماعة فإنما يأكل الذئب القاصية
Artinya: “Jika ada 3 orang di suatu kota atau desa, dan tidak didirikan shalat (berjama’ah) di tengah-tengah mereka, niscaya mereka akan dikalahkan oleh syaithan. Maka, berjama’ahlah kalian, sesungguhnya serigala hanya memangsa orang yang terpisah dari kelompoknya.” (HR. Abu Dawud dari Abu Darda radhiyallahu ‘anhu. Dishahihkan oleh an-Nawawi dalam kitab al-Majmu’)
Sebagian kalangan Malikiyah menjelaskan bahwa berjama’ah ini fardhu kifayah bagi orang-orang yang berada di suatu negeri. Jika mereka meninggalkannya, maka mereka harus diperangi. Dan sunnah hukumnya melaksanakannya di setiap masjid (walaupun di salah satu masjid di negeri tersebut sudah melaksanakannya), serta merupakan sebuah keutamaan bagi laki-laki yang melaksanakannya (walaupun sudah ada orang lain yang menegakkannya).
4. Fardhu ‘Ain
Ini merupakan pendapat Hanabilah, dan salah satu pendapat di kalangan Hanafiyah dan Syafi’iyah. Hanabilah berdalil dengan firman Allah ta’ala:
وإذا كنت فيهم فأقمت لهم الصلاة فلتقم طائفة منهم معك
Artinya: “Dan jika engkau berada di tengah-tengah mereka (shahabat) lalu engkau hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri bersamamu.” (an-Nisaa’: 102)
Menurut mereka, Allah memerintahkan untuk mendirikan shalat berjama’ah pada keadaan ketakutan karena suasana perang, maka berjama’ah dalam keadaan biasa lebih utama.
Mereka juga berdalil dengan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
والذي نفسي بيده لقد هممت أن آمر بحطب، فيحطب ثم آمر بالصلاة فيؤذن لها، ثم آمر رجلا فيؤم الناس، ثم أخالف إلى رجال لا يشهدون الصلاة، فأحرق عليهم بيوتهم
Artinya: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, Sesungguhnya aku ingin memerintahkan untuk mengumpulkan kayu bakar, kemudian memerintahkan untuk didirikan shalat, kemudian dikumandangkan adzan, setelah itu aku perintahkan seseorang untuk mengimami manusia. Kemudian aku menemui orang-orang yang tidak ikut melaksanakan shalat, dan aku bakar rumah-rumah mereka.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berikut ini:
أتى النبي صلى الله عليه وسلم رجل أعمى، فقال: يا رسول الله، إنه ليس لي قائد يقودني إلى المسجد، فسأل رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يرخص له، فيصلي في بيته فرخص له، فلما ولى دعاه فقال: هل تسمع النداء بالصلاة؟ قال: نعم قال: فأجب
Artinya: “Seorang laki-laki buta mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata kepada Rasulullah, ‘Wahai Rasulullah, tidak ada seseorang yang menuntunku ke masjid.’ Kemudian ia meminta keringanan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam baginya untuk shalat di rumah saja. Rasulullah memberi keringanan kepadanya. Ketika ia sudah berpaling hendak pergi, Rasulullah memanggilnya dan berkata kepadanya, ‘Apakah engkau mendengar seruan untuk shalat?’ Ia menjawab, ‘Ya.’ Rasulullah kemudian berkata, ‘Engkau wajib shalat berjama’ah.’.” (HR. Muslim)
Menurut mereka, jika seorang yang buta yang tidak memiliki penuntun saja tidak diberi keringanan, apalagi bagi selainnya. Atas dasar ini, menurut mereka, seseorang yang meninggalkan shalat berjama’ah maka mereka harus diperangi, meskipun ada orang lain yang sudah melaksanakannya, karena hukumnya adalah fardhu ‘ain bagi setiap orang.
5. Syarat Sah Shalat
Ini merupakan pendapat Ibnu ‘Aqil dari kalangan Hanabilah. Ia mengqiyaskan hal ini dengan berbagai kewajiban shalat lainnya. Menurut pendapat ini, jika seseorang tidak berjama’ah dalam shalat fardhu maka shalatnya tidak sah. Ini berbeda dengan pendapat ke-4 yang menyatakan hukum berjama’ah dalam shalat fardhu adalah fardhu ‘ain. Menurut pendapat ke-4, seseorang yang tidak berjama’ah dalam shalat fardhu, shalatnya tetap sah, namun ia berdosa.
Semoga bermanfaat.

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar