Senin, 23 Juli 2012

Umair Bin Sa’ad




“Saya membutuhkan orang seperti Umair bin Saad untuk membantu mengelola masyarakat kaum muslimin.” (Umar bin Khattab).
Umair bin Saad al-Anshary telah hidup yatim dan miskin sejak ia masih kecil. Bapaknya meninggal dunia tanpa meninggalkan harta warisan yang memadai.
Tetapi, untunglah ibunya segera menikah dengan seorang laki-laki kaya dari suku Aus, Al-Julas bin Suwaid. Maka, Umair ditanggung oleh Julas dan ikut bersama dalam keluarga. Sejak itu Umair menemukan jasa-jasa baik Julas, pemeliharaan yang bagus, keindahan belas kasih, sehingga Umair dapat melupakan bahwa ia telah yatim.
Umair menyayangi Julas sebagai layaknya seorang anak kepada bapak. Begitu pula Julas, sangat mencintai Umair sebagaimana lazimnya cinta bapak kepada anak. Semakin bertambah usia dan menjadi remaja, bertambah pula kasih sayang dan simpati Julas kepadanya, karena pembawaannya yang cerdas dan perbuatan mulia yang selalu diperlihatkannya, kehalusan budi pekerti, amanah, dan jujur yang senantiasa diperagakannya.
Umair bin Saad masuk Islam dalam usia yang sangat muda, kira-kira sepuluh tahun lebih sedikit. Ketika itu iman telah mantap dalam hatinya yang masih segar, lembut, dan polos. Karena itu, iman melekat pada dirinya dengan kokoh. Dan, Islam mendapatkan jiwanya yang bersih dan halus, bagaikan mendapat tanah subur. Dalam usianya yang masih muda, Umair tidak pernah ketinggalan salat berjamaah di belakang Rasulullah saw. Ibunya senantiasa diliputi kegembiraan setiap melihat anaknya pergi atau pulang dari masjid, kadang-kadang bersama suaminya dan kadang-kadang seorang diri.


Kehidupan Umair bin Saad pada waktu kecil berjalan lancar, senang, dan tenang, tidak ada yang mengeruhkan dan mengotori. Sehingga, tiba masanya Allah menghendaki untuk mengembangkan jiwa anak kecil yang akan meningkat remaja ini dengan suatu latihan berat, dan mengujinya dengan ujian yang jarang dilalui anak-anak sebaya dia.
Tahun ke-9 H Rasulullah saw. mengumumkan hendak memerangi tentara Rum di Tabuk. Beliau memerintahkan kaum muslimin supaya bersiap-siap menghadapi peperangan tersebut. Biasanya bila hendak pergi berperang, Rasulullah tidak pernah mengumumkan sasaran yang dituju, kecuali pada peperangan Tabuk. Rasulullah saw. menjelaskan kepada kaum muslimin sasaran yang dituju, karena akan menempuh perjalanan jauh dan sulit, serta kekuatan musuh berlipat ganda, supaya kaum muslimin mengerti dan dapat mempersiapkan diri menghadapi peperangan tersebut. Di samping itu, musim panas telah mulai dengan suhu menyengat. Buah-buahan sudah berbuah dan mulai masak. Kaum muslimin yang setia dan patuh memperhatikan seruan Nabi dan mempersiapkan segala sesuatunya untuk perang dengan cermat dan cepat.
Lain lagi golongan munafik, mereka sengaja mengulur-ulur waktu. Memandang enteng setiap hal yang penting-penting, membangkitakan keragu-raguan, bahkan mencela kebijaksanaan Rasulullah saw. dan mengucapkan kata-kata beracun di majelis-majelis khusus mereka yang menimbulkan kekafiran.
Beberapa hari sebelum keberangkatan pasukan tentara muslimin ke medan perang Tabuk, Umair bin Saad yang baru meningkat remaja pulang ke rumahnya sesudah salat di masjid. Jiwanya sangat tergugah menyaksikan pengorbanan yang sangat gemilang, tulus, dan ikhlas dari golongan kaum muslimin, yang dilihat dan didengarnya dengan mata kepala dan telinganya sendiri. Dia menyaksikan para wanita Muhajirin dan Ansar, dengan spontan menyambut seruan Rasulullah saw. Mereka tinggalkan perhiasannya ketika itu juga, lalu diserahkannya kepada Rasulullah untuk biaya perang fisabilillah. Dia menyaksikan dengan mata sendiri. Utsman bin Affan datang membawa pundi-pundi berisi ribuan dinar emas, lalu diserahkannya kepada Rasulullah. Abdurrahman bin Auf datang pula membawa dua ratus uqiyah (1 uqiyah = ? tahlil) emas dan diserahkannya kepada Nabi yang mulia. Bahkan, dia melihat seorang laki-laki menjual tempat tidur untuk membeli sebuah pedang yang akan dibawa dan dipakainya berperang fisabilillah.
Umair merasa bangga melihat kepatuhan dan pengorbanan yang amat mengesankan itu. Sebaliknya, dia sangat heran melihat orang-orang yang sangat tidak acuh melakukan persiapan untuk berangkat bersama-sama Rasulullah, dan mengundur-undur waktu menyerahkan sumbangan kepada beliau, padahal orang itu mampu dan cukup kaya untuk melakukannya sedini mungkin. Karena itu, jiwanya tergerak hendak membangkitkan semangat orang-orang yang lalai dan tidak acuh itu. Maka, diceritakannya kepada mereka segala peristiwa dan didengarnya mengenai sumbangan dan pengorbanan golongan orang-orang mukmin yang patuh dan setia kepada Rasulullah, terutama cerita mengenai orang-orang yang datang kepada Rasulullah dengan beriba-iba memohon supaya mereka diterima menjadi anggota pasukan yang akan turut berperang. Tetapi, Rasulullah menolak permohonan mereka, karena mereka tidak mempunyai kuda atau unta kendaraan sendiri. Lalu, orang-orang itu pulang dengan menangis sedih karena tidak mempunyai kendaraan untuk mencapai cita-cita mereka hendak turut berjihad dan membuktikan keinginannya memperoleh syahid.
Tetapi, tatkala kaum munafik yang sengaja berlalai-lalai dan tidak acuh ini mendengar cerita Umair yang dikiranya akan membangkitkan semangat juang dan pengorbanan mereka, malah sebaliknya Umair memperoleh jawaban berupa kata-kata yang sungguh-sungguh membingungkan pemuda cilik yang mukmin ini. Mereka berkata, “Seandainya apa yang dikatakan Muhammad tentang kenabian itu benar adanya, tentulah kami lebih buruk daripada keledai.”
Umair sungguh bingung mendengar ucapan itu. Dia tidak menyangka sedikit jua pun, kata-kata seperti itu justru keluar dari mulut orang dewasa yang cerdas, Julas bin Suwaid, bapak tiri yang mengasuh dan membesarkannya selama ini. Kata-kata yang nyata-nyata mengeluarkan orang yang mengucapkannya dari iman dan Islam. Sementara kebingungan, anak itu juga memikirkan tindakan apa yang harus dilakukannya. Dia mengambil kesimpulan bahwa Julas diam tidak turut mengambil bagian dalam kegiatan persiapan perang adalah suatu pengkhianatan terhadap Allah dan rasul-Nya dan jelas membahayakan Islam serta termasuk taktik kaum munafik yang ditiup-tiupkannya sesama mereka. Jika melaporkan dan menyiarkan ucapan Julas, berarti mendurhakai orang yang selama ini telah dianggapnya sebagai bapak kandungnya sendiri. Berarti pula membalas air susu dengan air tuba. Demikian analisa Umair.
Anak kecil itu merasa harus berani mengambil keputusan segera, melaporkan dan menyiarkan ucapan ayah tirinya, atau diam seribu bahasa. Dia memilih melaporkan. Dia berkata kepada Julas, “Demi Allah, hak Bapak! Tidak ada di muka bumi ini orang yang lebih saya cintai dari Bapak sendiri. Bapak memang sangat berjasa kepada saya, karena telah turun tangan membahagiakan saya. Tetapi, Bapak telah mengucapkan kata-kata yang bila saya laporkan pasti akan memalukan Bapak. Sebaliknya, bila saya diamkan berarti saya mengkhianati amanah yang akan mencelakakan diri saya serta agama saya. Sesungguhnya saya telah bertekad hendak melaporkan dan menyampaikan ucapan Bapak kepada Rasulullah, dan Bapak akan menjadi saksi nyata terhadap urusan Bapak sendiri.
Umair bin Saad yang masih anak-anak pergi ke masjid, lalu dilaporkannya kepada Rasulullah kata-kata yang didengarnya sendiri dari bapak tirinya, Julas bin Suwaid. Rasulullah meminta supaya tinggal lebih dahulu dekat beliau. Sementara itu, beliau menyuruh seorang sahabat memanggil Julas. Tidak berapa lama kemudian Julas pun datang. Rasulullah memanggil supaya duduk di hadapan beliau.
Beliau bertanya, “Betulkah Anda mengucapkan kata-kata seperti yang saya dengar dari Umair bin Saad ?”
Jawab Julas, “Anak itu dusta ya Rasulullah, saya tidak pernah mengucapkan kata-kata demikian!”
Para sahabat memandang Julas dan Umair bergantian, seolah-olah mereka ingin memandang wajah pada keduanya apa yang sesungguhnya tersirat di hati mereka berdua. Lalu, para sahabat berbisik-bisik sesama mereka, “Anak ini sungguh durhaka. Dia jahat terhadap orang yang telah berjasa besar mengasuh dan membesarkannya.”
Kata yang lain. “Tidak! dia anak yang taat kepada Allah. Wajahnya tampan dan elok memancarkan cahaya iman menunjukkan dia benar.”
Rasulullah menoleh kepada Umair. Kelihatan oleh Beliau wajah anak itu merah padam. Air matanya jatuh berderai di pipinya. Kata Umair mendoa, “Wahai Allah turunkanlah saksi kepada Nabi-Mu, bahwa aku benar!” Julas memperkuat pengakuannya,”Ya Rasulullah, sesungguhnya apa yang saya katakana kepada Anda tadi itulah yang benar. Jika Anda menghendaki saya berani bersumpah di hadapan Anda, saya bersumpah dengan nama Allah bahwa sesungguhnya saya tidak pernah mengucapkan kata-kata seperti yang dilaporkan Umair kepada Anda.”
Setelah Julas selesai mengucapkan sumpah, seluruh mata yang hadir memandang kepada Umair bin Saad, sehingga Rasulullah diam sambil memicingkan mata menunjukkan wahyu sedang turun. Para sahabat memaklumi hal itu. Mereka pun diam tidak berbunyi sedikit pun jua. Tidak ada yang berkata-kata dan bergerak. Semua mata tertuju kepada Rasulullah saw.
Melihat Rasulullah kedatangan wahyu, Julas menjadi ketakutan. Dia menyesal dan menengok kepada Umair. Situasi itu berlangsung hingga wahyu selesai turun. Lalu, Rasulullah membacakan ayat yang diterima beliau, artinya “Mereka bersumpah dengan (menyebut nama Allah) bahwa mereka tidak mengatakannya. Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah memeluk Islam, dan mereka memutuskan apa yang tidak dapat mereka jalankan (untuk membunuh Nabi saw., menghancurkan Islam dan kaum muslimin). Mereka mencela Allah dan Rasul-Nya tidak lain hanyalah karena Allah telah mencukupi mereka dengan karunia-Nya. Tetapi, jika mereka bertobat, itulah yang paling baik bagi mereka, dan jika mereka membelakangi, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih di dunia dan akhirat, dan mereka tidak mempunyai pelindung dan pembantu di muka bumi.” (At-Taubah: 74).
Julas gemetar mendengar ayat yang sangat menakutkan itu. Dia hampir tak dapat bicara karena terkejut. Kemudian, dia berpaling kepada Rasulullah saw. seraya berkata. “Saya tobat ya Rasulullah, saya tobat! Umairlah yang benar ya Rasulullah. Sayalah yang dusta, Sudilah Anda memohonkan kepada Allah, semoga Dia menerima tobat saya. Saya bersedia menebus kesalahan saya, ya Rasulullah!”
Rasulullah menghadapkan mukanya kepada Umair bin Saad yang tiba-tiba bercucuran air mata gembira membasahi mukanya yang berseri oleh cahaya iman. Lalu, Rasulullah dengan gembira mengulurkan tangannya yang mulia, menarik telinga Umair dengan lembut seraya berkata, “Telingamu cukup nyaring, nak! Allah membenarkan apa yang engkau dengar.”
Julas telah kembali kepada Islam dan menjadi muslim yang baik. Para sahabat telah mengetahui bagaimana besarnya jasa baik Julas mengasuh dan membesarkan Umair selaku anak tiri. Dia bertanggung jawab penuh sebagaimana layaknya bapak kandung Umair. Setiap kali orang menyebut nama Umair di hadapannya, dia berkata dengan tulus, “Semoga Allah membalasi Umair dengan segala kebajikan, karena dia telah membebaskan saya dari kekafiran dan dari api neraka.”
Kisah yang kita ceritakan ini belum merupakan gambaran puncak dari kehidupan Umair, melainkan baru merupakan gambaran kehidupannya waktu kecil. Marilah kita lihat gambaran kehidupannya yang lebih gemilang dan indah di waktu mudanya.
Baru saja kita melihat dengan jelas bentuk kehidupan sahabat yang mulia, Umair bin Saad, waktu dia masih kanak-kanak. Sekarang marilah kita lihat bentuk kehidupannya yang cemerlang saat dia telah dewasa. Anda akan menyaksikan kehidupan tahap kedua ini tidak kurang gemilangnya dari tahap pertama: agung dan megah.
Penduduk Hims sangat kritis terhadap para pembesar mereka sehingga sering mengadu kepada khalifah. Setiap pembesar yang baru datang memerintah, ada saja celanya bagi mereka. Dicatatnya segala kesalahan pembesar itu, lalu dilaporkannya kepada khalifah dan minta diganti dengan yang lebih baik. Karena itu, khalifah Umar mencari seorang yang tidak bercacat dan namanya belum pernah rusak untuk menjadi gubernur di sana. Lalu, beliau sebar pembantu-pembantunya untuk mencari orang yang paling tepat. Maka, tidak diperolehnya orang yang lebih baik selain Umair bin Saad. Tetapi, sayang Umair ketika itu sedang bertugas memimpin pasukan perang fi sabilillah di wilayah Syam. Dalam tugas itu dia berhasil membebaskan beberapa kota, menghancurkan beberapa benteng, menundukkan beberapa kabilah, dan membangun masjid di setiap negeri yang dilaluinya.
Saat seperti itulah Amirul Mukminin memanggilnya kembali ke Madinah untuk memangku jabatan gubernur di Hims. Khalifah Umar memerintahkan untuk segera berangkat ke Hims. Umair menerima perintah tersebut dengan hati enggan, karena baginya tidak ada yang lebih utama selain perang fi sabilillah.
Setibanya di Hims, dipanggilnya orang banyak berkumpul ke masjid untuk salat berjamaah. Selesai salat dia berpidato. Mula-mula dia memuji Allah dan mengucapkan shalawat untuk Nabi, dan kemudian dia berkata, “Hai manusia, sesungguhnya Islam adalah benteng pertahanan yang kokoh dan pintu yang kuat. Benteng Islam itu ialah keadilan dan pintunya ialah kebenaran (al-haq). Apabila benteng itu ambruk dan pintunya roboh, pertahanan agama akan sirna. Islam akan senantiasa kuat selama kekuasaan tegak dengan kokoh. Tegaknya kekuasaan bukanlah dengan cemeti dan tidak pula dengan pedang, melainkan dengan menegakkan keadilan dan melaksanakan yang hak.”
Selesai berpidato, dia langsung bertugas sesuai dengan khitah yang telah digariskan dalam pidatonya yang singkat itu.
Umair bin Saad bertugas sebagai gubernur di Hims hanya setahun penuh. Selama itu dia tidak menulis surat sepucuk pun kepada Amirul Mukminin. Tidak satu dinar atau satu dirham pun dia menyetorkan pajak ke Baitul Mal Muslimin (perbendaharaan negara) di Madinah. Karena itu, timbul kecurigaan di hati Khalifah Umar. Dia sangat khawatir kalaul-kalau pemerintahan yang dipimpin Umair mengalami bencana (menyelewengkan uang negara), karena tidak ada orang yang maksum (terpelihara dari dosa) selain Rasulullah saw. Lalu, beliau memerintahkan sekretaris negara untuk menulis surat kepada Gubernur Umair.
Kata khalifah Umar, “Tulislah surat kepada Umair, katakanlah kepadanya, ‘Bila surat ini sampai di tangan Anda, tinggalkanlah Hims dan segeralah menghadap Amirul Mukminin. Jangan lupa membawa sekalian pajak yang Anda pungut dari kaum muslimin’.”
Selesai surat tersebut di baca oleh Gubernur Umair, maka diambilnya kantong perbekalan dan diisinya tempat air untuk persediaan air wudu dalam perjalanan. Lalu, dia berangkat meninggalkan Hims. Dia pergi mengayun langkah menuju Madinah dengan berjalan kaki. Ketika hampir tiba di Madinah keadaannya pucat (karena kurang makan dalam perjalanan), tubuhnya kurus kering dan lemah, rambut dan jenggotnya sudah panjang, dan dia tampak sangat letih karena perjalanan yang begitu jauh.
Umair segera masuk menghadap Amirul Mukminin Umar bin Khattab. Khalifah Umar terkejut melihat keadaan Umair, lalu dia bertanya, “Bagaimana keadaan Anda wahai Umair?”
Jawab Umair, “Tidak kurang suatu apa. Saya sehat walafiat, alhamdulillah! Saya membawa dunia seluruhnya, saya tarik di kedua tanduknya.”
Tanya Khalifah Umar, “Dunia manakah yang Anda bawa?” (Khalifah menduga dia membawa uang setoran pajak untuk Baitul Mal).
Jawab Umair, “Saya membawa kantong perbekalan dan tempat air untuk bekal di perjalanan, beberapa lembar pakaian, air untuk wudu, untuk membasahi kepala, dan untuk minum. Itulah seluruh dunia yang saya bawa. Yang lain tidak saya perlukan.”
Tanya khalifah, “Apakah Anda datang berjalan kaki?”
Jawab, “Betul, ya Amirul Mukminin!”
Tanya, “Apakah Anda tidak diberi hewan kendaraan oleh pemerintah?
Jawab, “Tidak, mereka tidak memberi saya dan saya tidak pula memintanya dari mereka.”
Tanya, “Mana setoran yang Anda bawa untuk Baitul Mal?”
Jawab, “Saya tidak membawa apa-apa untuk Baitul Mal”
Tanya, “Mengapa?”
Jawab, “Setibanya di Himsh, saya kumpulkan penduduk yang baik-baik, lalu saya perintahkan mereka memungut dan mengumpulkan pajak. Setiap kali mereka berhasil mengumpulkannya saya bermusyawarah dengan mereka, untuk apa harta itu harus digunakan dan bagaimana cara membagi-bagikannya kepada yang berhak.”
Khalifah Umar berkata kepada juru tulis, “Perpanjang masa jatah Umair sebagai gubernur Hims.”
Kata Umair, “Maaf khalifah! saya tidak menghendaki jabatan itu lagi. Mulai saat ini saya tidak hendak bekerja lagi untuk Anda atau untuk orang lain sesudah Anda, wahai Amirul Mukminin.”
Kemudian Umair minta izin untuk pergi ke sebuah dusun di pinggiran kota Madinah dan akan menetap di sana bersama keluarganya. Lalu, khalifah mengizinkannya.
Belum begitu lama Umair tinggal di dusun tersebut, Khalifah Umar ingin mengetahui keadaan sahabatnya itu, bagaimana kehidupannya dan apa yang diusahakannya. Lalu, diperintahkannya Al-Harits, seorang kepercayaan khalifah, “Pergilah engkau menemui Umair, tinggallah di rumahnya selama tiga hari sebagai tamu. Bila engkau lihat keadaannya bahagia penuh nikmat, kembalilah sebagaimana engkau datang. Jika engkau melihat keadaaannya melarat, berilah uang ini kepadanya.” Khalifah Umar memberikan pundi berisi seratus dinar kepada Al-Harits.
Al-Harits pergi ke dusun tempat Umair tinggal. Dia bertanya ke sana-sini di mana rumah Umair. Setelah bertemu, Al-Harits mengucapkan salam, “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
Jawab Umair, “Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh. Anda datang dari mana?”
Jawab Harits, “Dari Madinah!”
Tanya Umair, “Bagaimana keadaan kaum muslimin sepeninggal Anda?”
Jawab Harits, “Baik-baik saja.”
Tanya, “Bagaimana kabar Amirul Mukminin?”
Jawab, “Alhamdulilah baik.”
Tanya, “Adakah ditegakkannya hukum?”
“Tentu, malahan baru-baru ini dia menghukum dari anaknya sendiri sampai mati karena bersalah melakukan perbuatan keji.”
Kata Umair, “Wahai Allah, tolonglah Umar! Saya tahu, sungguh dia sangat mencintai-Mu, wahai Allah!”
Al-Harits menjadi tamu Umair selama tiga malam. Tiap malam Harits hanya dijamu dengan sebuah roti terbuat dari gandum. Pada hari ketiga, seorang laki-laki kampung berkata kepada Harits, “Sesungguhnya Anda telah menyusahkan Umair dan keluarganya. Mereka tidak punya apa-apa selain roti yang disuguhkannya kepada Anda. Mereka lebih memerintahkan Anda walaupun dia sekeluarga harus menahan lapar. Jika Anda tidak keberatan, sebaiknya Anda pindah ke rumah saya menjadi tamu saya.”
Al-Harits mengeluarkan pundi-pundi uang dinar, lalu diberikannya kepada Umair. Tanya Umair, “Apa ini?”
Jawab Harits, “Amirul mukminin mengeluarkannya untuk Anda.”
Kata Umair, “Kembalikan saja uang itu kepada beliau. Sampaikan salamku dan katakan kepada beliau bahwasanya aku tidak membutuhkan uang itu.”
Istri Umair yang mendengar percakapan suaminya dengan Harits berteriak, “Terima saja wahai Umair! Jika engkau butuh sesuatu engkau dapat membelanjakannya. Jika tidak, engkau pun dapat membagi-bagikannya kepada orang-orang yang membutuhkan.”
Mendengar Ucapan istri Umair, Harits meletakan uang itu di hadapan Umair. Kemudian, dia pergi. Umair memungut uang itu lalu dimasukkannya ke dalam beberapa pundi-pundi kecil. Dia tidak tidur sampai tengah malam sebelum uang itu habis dibagi-bagikannya kepada orang-orang yang membutuhkan. Sangat diutamakannya memberikannya kepada anak-anak yatim, yang orang tuanya tewas sebagai syuhada di medan perang fi sabilillah.
Al-Harits kembali ke Madinah. Setibanya di Madinah Khalifah Umar bertanya, “Bagaimana keadaan Umair?”
Jawab Harits, “Sangat menyedihkan ya Amirul Mukminin.”
Tanya Khalifah, “Sudah engkau berikan uang itu kepadanya?”
Jawab.”Ya, sudah aku berikan.”
Tanya, “Apa yang dibuatnya dengan uang itu?”
Jawab, “Saya tidak tahu. Tetapi, saya kira uang itu mungkin hanya tinggal satu dirham saja untuknya.”
Khalifah Umar menulis surat kepada Umair, katanya, “Bila surat ini selesai Anda baca, janganlah Anda letakan sebelum menghadap kepada saya.” Umair bin Saad datang ke Madinah memenuhi panggilan Khalifah. Sampai di Madinah dia langsung menghadap Amirul Mukminin. Khalifah Umar mengucapkan selamat datang dan memberikan alas duduk yang dipakainya kepada Umair, sebagai penghormatan.
Tanya Khalifah, “Apa yang Anda perbuat dengan uang itu ya Umair?”
Jawab Umair, “Apa maksud Anda menanyakan sesudah uang itu Anda berikan kepadaku?”
Jawab Khalifah, “Saya hanya ingin tahu, barangkali Anda mau menceritakannya.”
Jawab Umair, “Uang itu saya simpan untuk saya sendiri dan akan saya manfaatkan nanti pada suatu hari ketika harta dan anak-anak tidak bermanfaat lagi, yaitu hari kiamat.”
Mendengar jawaban Umair, Khalifah Umar menangis sehingga air matanya jatuh bercucuran. Katanya, “Saya menjadi saksi, sesungguhnya Anda tergolong orang yang mementingkan orang lain sekalipun Anda sendiri melarat.”
Kemudian, khalifah menyuruh seseorang mengambil satu wasak pangan dan dua helai pakaian, lalu diberikannya kepada Umair.
Kata Umair, “Kami tidak membutuhkan makanan, ya Amirul Mukminin. Saya ada meninggalkan dua sha’ gandum untuk keluarga saya. Mudah-mudahan itu cukup untuk makan kami sampai Allah Ta’ala memberi lagi rezeki untuk kami. Tetapi, pakaian ini saya terima untuk istri saya, karena pakaiannya sudah terlalu usang sehingga hampir telanjang.”
Tidak lama sesudah pertemuan Umair dengan khalifah, Allah mengizinkannya untuk bertemu dengan Nabi yang sangat dicintai dan dirindukannya, yaitu Muhammad bin Abdullah, Rasulullah saw. Umair pergi menempuh jalan akhirat, mempertaruhkan jiwa raganya dengan langkah-langkah yang senantiasa mantap. Dia tidak membawa beban berat di punggung berupa kemewahan dunia. Tetapi, dia pergi dengan cahaya Allah yang selalu membimbingnya: wara dan takwa.
Ketika Khalifah Umar mendengar kematian Umair, bukan main sedihnya. Sehingga, dia mengurut dada karena menyesal. Kata Khalifah, “Saya membutuhkan orang-orang seperti Umair bin Saad untuk membantu saya mengelola masyarakat kaum muslimin.”
Semoga Allah meridai Umair bin Saad dan semoga dia senang dalam keridaan-Nya. Dia telah menempuh cara yang diambilnya sendiri di antara sekian banyak orang. Dia adalah bekas mahasiswa yang menonjol di universitas Muhammad bin Abdullah. Wallahu a’lam.
Sumber: Shuwar min Hayatis Shahabah, Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar