Istilah Salafi pada mulanya merujuk pada golongan di dalam ahlu sunnah wal jamaah (Suni) yang menjalankan agama dengan mengambil teladan dari (tiga) generasi pertama Islam. Terminologi tiga generasi pertama ini bersumber dari hadist Rasulullah. Namun dalam pengertian kontemporer, istilah Salafi menyempit menjadi kelompok yang mengintepretasikan dalil-dalil agama secara literal. Pemahaman Salafi yang literalis ini merujuk pada metode interpretasi dalil yang digunakan oleh Imam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim al-Jauzi yang hidup pada awal abad ke-14.
Sejumlah sejarawan menyebutkan bahwa pemikiran Salafi kontemporer saat ini juga dipengaruhi oleh gerakan pembaharuan yang dipelopori oleh Muhammad ibn Abdul Wahhab di kawasan Jazirah Arabia yang kemudian populer dengan sebutan gerakan Wahabi. Gerakan ini bertujuan memurnikan ajaran Islam dari pengaruh pengaruh bid’ah, syirik dan khurofat. Diantara tokoh-tokoh kontemporer Salafi abad ke-20 adalah Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syaikh Muhammad bin al-Utsaimin, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Syaikh Rabi’ al-Madkhali dan Syaikh Muqbil al-Wadi’i.
Secara politik, tokoh-tokoh Salafi di Jazirah Arab memiliki hubungan kedekatan khusus dengan dinasti kerajaan Arab Saudi yang berkuasa saat ini. Oleh karena itu sikap politik kelompok Salafi ini ditandai dengan sikap pro-pemerintah status quo di Arab Saudi.
Tokoh penggerak awal Salafi di Indonesia antara lain Yazid Abdul Qadir Jawwaz (Bogor), Abdul Hakim Abdat (Jakarta), Muhammad Umar As-Sewed (Solo), Ahmad Faiz Asifuddin (Solo), Abu Nida’ (Yogyakarta) dan Ja’far Umar Thalib (Yogyakarta).
Pemahaman Salafi yang sangat literalis tidak jarang melahirkan berbagai kontroversi. Salah satu contohnya adalah fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz yang menyatakan bahwa bumi itu rata dan tidak berputar dan orang yang tidak mempercayainya ia termasuk atheis dan akan mendapat hukuman. Di kemudian waktu beliau meralat pendapat tersebut. Namun rupanya pendapat ini terlanjur dijadikan argumentasi kalangan anti Islam untuk menimbulkan kesan bahwa Islam bertentangan dengan sains.
Disamping itu pemahaman ini juga disinyalir menjadi penyebab mengapa kelompok Salafi cenderung mudah menyalahkan kelompok-kelompk lain yang tidak sepaham. Dalil yang sering dijadikan acuan adalah hadits tentang terpecahnya muslim menjadi menjadi 73 golongan, semuanya sesat kecuali satu. Mereka mengklaim satu golongan tersebut adalah kelompok mereka.
Dalam perkembangannya Salafi juga terbagi menjadi beberapa kelompok .
Kelompok arus utama adalah mereka yang loyal mengikuti pemikiran Syaikh Rabi’ al-Madkhali dan Syaikh Muqbil al-Wadi’i. Kelompok ini dikenal sangat gencar dalam menentang pemahaman-pemahaman Islam yang berseberangan dengan pemahaman mereka. Untuk memudahkan pembahasan, kalangan ini oleh seorang penulis buku disebut dengan Salafi Yamani. Di Indonesia, tokoh utama kelompok ini adalah Muhammad Umar As-Sewed.
Kelompok kedua adalah Ihya’u Turots yang berasal dari Kuwait dan didirikan oleh Abdurrahman Abdul Khalid. Di Indonesia kelompok ini hadir dalam bentuk Yayasan Ihya’u Turots dengan tokohnya antara lain adalah Abu Nida’ dan Ahmad Faiz Asifuddin.
Kelompok ketiga adalah Al-Muntada didirikan oleh Muhammad Surur bin Nayif Zainal Abidin di London. Di Indonesia, kelompok ini hadir dalam bentuk Yayasan Al-Sofwa. Tokoh-tokoh Salafi Indonesia yang tergolong dalam kelompok ini antara lain adalah Yazid Abdul Qadir Jawwaz dan Abdul Hakim Abdat.
Selain ketiga kelompok tersebut, di Indonesia, juga ada kelompok Salafi yang berafiliasi kepada Ja’far Umar Thalib.
Dibandingkan dengan kelompok pertama, ketiga kelompok yang lain cenderung lebih moderat dalam menyikapi perbedaan dengan kelompok-kelompok lain di luar Salafi. Bahkan dalam sejumlah kegiatan keislaman mereka tidak menutup peluang kerjasama dengan berbagai kelompok non-Salafi.
Sumber:
- M. Ikhsan. Gerakan Salafi modern di Indonesia. Mei. 2006
- Open Encyclopedia
- Situs Yayasan Al-Sofwah. http://www.alsofwah.or.id
- Situs Salafy Ahlusunnah wal Jamaah. http://www.salafy.or.id
- International Crisis Group. Indonesia Backgrounder: Why Salafism and Terrorism Mostly Don’t Mix. September 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar