3. AIR YANG TERCAMPUR DENGAN BARANG YANG SUCI
Jenis air yang ketiga adalah air yang tercampur dengan barang suci atau barang yang bukan najis. Hukumnya tetap suci. Seperti air yang tercampur dengan sabun, kapur barus, tepung dan lainnya. Selama nama air itu masih melekat padanya. Namun bila air telah keluar dari kriteria airnya, maka dia suci namun tidak mensucikan. Tentang kapur barus, ada hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk memandikan mayat dengan menggunakannya.
Dari Ummi Athiyyah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Mandikanlah dia tiga kali, lima kali atau lebih banyak dari itu dengan air sidr (bidara) dan jadikanlah yang paling akhir air kapur barus (HR. Bukhari 1258, Muslim 939, Abu Daud 3142, Tirmizy 990, An-Nasai 1880 dan Ibnu Majah 1458).
Dan mayat itu tidak dimandikan kecuali dengan menggunakan air yang suci dan mensucikan, sehingga air kapus dan sidr itu hukumnya termasuk yang suci dan mensucikan. Sedangkan tentang air yang tercampur dengan tepung, ada hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Hani`.
Dari Ummu Hani` bahwa Rasulullah SAW mandi bersama Maimunah ra dari satu wadah yang sama, tempat yang merupakan sisa dari tepung. (HR. Nasai 240, Ibnu Khuzaimah 240)
Namun jika air suci bercampur dengan sesuatu yang suci berupa bubuk kopi atau sirup, maka ketika itu tidak boleh dipakai bersuci, karena ia bukan lagi disebut "air", tapi disebut "kopi" atau "sirup". Demikian pula, parfum yang diperas dari bunga-bunga, tidak bisa dipakai bersuci, karena ia bukan disebut "air", sekalipun nampak cair seperti air.
Al-Imam Muwaffaquddin Abdullah bin Ahmad Ash-Sholihiy -rahimahullah- berkata dalam Al-Mughni (1/20) ketika menjelaskan air yang berubah sehingga tidak bisa dipakai lagi bersuci, "Ini ada tiga jenis. Pertama, sesuatu yang diperas dari sesuatu yang suci, seperti air bunga, air cengkeh, sesuatu yang menetes dari akar pohon, jika dipotong dalam keadaan basah. Kedua, air yang bercampur dengan sesuatu yang suci, dan lebih dominan dibandingkan bagian-bagian air sehingga ia menjadi celupan atau tinta, atau cuka, atau kuah, dan sejenisnya. Ketiga, air yang dimasak bersama dengan sesuatu yang suci, lalu air itu berubah (sifatnya), seperti kuah kacang yang dididihkan".
4. AIR YANG TERCAMPUR DENGAN BARANG YANG NAJIS
Air yang tercampur dengan benda najis itu bisa memiliki dua kemungkinan hukum. Yaitu antara air itu berubah dan tidak berubah setelah tercampur benda yang najis. Kriteria perubahan terletak pada rasa, warna atau bau / aromanya.
a. Bila Berubah Rasa, Warna atau Aromanya
Bila berubah rasa, warna atau aromanya ketika sejumlah air terkena atau kemasukan barang najis, maka hukum air itu itu menjadi najis juga. Hal ini disebutkan oleh Ibnul Munzir dan Ibnul Mulaqqin.
b. Bila Tidak Berubah Rasa, Warna atau Aromanya
Sebaliknya bila ketiga krieteria di atas tidak berubah, maka hukum air itu suci dan mensucikan. Baik air itu sedikit atau pun banyak. Dalilnya adalah hadits tentang arab badui (a’rabi) yang kencing di dalam masjid :
Dari Abi Hurairah ra bahwa seorang a`rabi telah masuk masjid dan kencing di dalamnya. Orang-orang berdiri untuk menindaknya namun Rasulullah SAW bersbda,`biarkan saja dulu, siramilah di atas tempat kencingnya itu seember air. Sesungguhnya kalian dibangkitkan untuk memudahkan dan bukan untuk menyusahkan.(HR. Bukhari 220, Abu Daud 380, Tirmizy 147 An-Nasai 56 Ibnu Majah 529).
Dari Abi Said Al-Khudhri ra berkata bahwa seorang bertanya,`Ya Rasulullah, Apakah kami boleh berwudhu` dari sumur Budho`ah ?. Rasulullah SAW menjawab,`Air itu suci dan tidak dinajiskan oleh sesuatu`. (HR. Abu Daud 66, At-Tirmizy 66, An-Nasai 325, Ahmad3/31-87, Al-Imam Asy-Syafi`i 35).
Sumur Budha`ah adalah nama sebuah sumur di kota Madinah yang airnya digunakan orang untuk mandi yaitu wanita yang haidh dan nifas serta istinja`. Diriwayat lain bahkan ditambahkan “tempat dibuangnya bangkai”, namun tentu tidak mengubah rasa, warna dan aroma air.
Wallahu A’lam bish shawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar