2. Air Musta`mal
Air musta`mal berarti air yang sudah dipakai, maksudnya yang telah digunakan untuk bersuci (thaharah). Misalnya untuk berwudhu`, mandi wajib (janabah) atau mencuci najis. Sedangkan air yang telah digunakan untuk mencuci tangan di luar wudhu’, atau air yang telah digunakan untuk mandi biasa yang bukan mandi janabah, tidak termasuk dikategorikan sebagai air yang telah digunakan (bukan air musta’mal).
Mengenai ke-musta’mal-an air ini, terdapat variasi pendapat dari para ulama mazhab.
a. Ulama Asy-Syafi`iyyah
Menurut ulama Syafi’iyah air musta’mal adalah :
1. Air sedikit (kurang dari 2 qullah) dalam suatu wadah yang telah digunakan untuk mengangkat hadats dalam rukun thaharah. Air itu menjadi musta`mal apabila diciduk dengan niat untuk wudhu` atau mandi wajib, meski hanya dipakai untuk mencuci tangan yang merupakan sunnah dari wudhu`.
2. Air yang menetes dari anggota wudhu’ atau badan (setelah mandi wajib). Apabila air ini masuk ke dalam wadah air yang kurang dari 2 qullah, maka akan “menular” ke-musta’mal-annya.
Air musta`mal dalam mazhab ini hukumnya tidak bisa digunakan untuk berwudhu` atau untuk mandi atau untuk mencuci najis. Karean statusnya suci tapi tidak mensucikan. (Lihat Mughni Al-Muhtaj 1/20 dan Al-Muhazzab jilid 5 hal. 1,8)
b. Ulama Al-Hanafiyah
Ulama-ulama mazhab hanafi berpendapat bahwa air musta’mal adalah air yang suci namun tidak bisa mensucikan. Penyebab ke-musta’mal-an air adalah karena air itu telah digunakan untuk mengangkat hadats (wudhu` untuk shalat atau mandi wajib) atau untuk qurbah (sekadar untuk wudhu` sunnah atau mandi sunnah). Tetapi secara lebih detail, menurut mazhab ini bahwa yang menjadi musta`mal adalah air yang membasahi tubuh saja dan bukan air yang tersisa di dalam wadah. Air yang membasahi tubuh langsung memiliki hukum musta`mal saat dia menetes dari tubuh sebagai sisa wudhu` atau mandi. Sedangkan air yang di dalam wadah tidak menjadi musta`mal sehingga tetap sah digunakan untuk wudhu’/mandi. Keterangan seperti ini bisa kita lihat pada kitab Al-Badai` jilid 1 hal. 69 dan seterusnya, juga Ad-Dur Al-Mukhtar jilid 1 hal. 182-186, juga Fathul Qadir 58/1,61.
c. Ulama Al-Malikiyah
Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats baik wudhu` atau mandi. Dan tidak dibedakan apakah wudhu` atau mandi itu wajib atau sunnah. Juga yang telah digunakan untuk menghilangkan khabats (barang najis).
Dan sebagaimana Al-Hanafiyah, mereka pun mengatakan bahwa yang musta`mal hanyalah air bekas wudhu atau mandi yang menetes dari tubuh seseorang (bukan yang tersisa dalam wadah). Namun yang membedakan adalah bahwa air musta`mal dalam pendapat mereka itu suci dan mensucikan. Artinya, bisa dan syah digunakan untuk mencuci najis atau wadah. Air ini boleh digunakan lagi untuk berwudhu` atau mandi sunnah walau ada air yang lainnya meski dengan karahah (kurang disukai).
(Lihat As-Syahru As-Shaghir 37/1-40, As-Syarhul Kabir ma`a Ad-Dasuqi 41/1-43, Al-Qawanin Al-Fiqhiyah hal. 31, Bidayatul Mujtahid 1 hal 26 dan sesudahnya).
d. Ulama Al-Hanabilah
Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk bersuci dari hadats kecil (wudhu`) atau hadats besar (mandi) atau untuk menghilangkan najis pada pencucian yang terakhir dari 7 kali pencucian. Dan untuk itu air tidak mengalami perubahan baik warna, rasa maupun aromanya.
Selain itu air bekas memandikan mayit pun termasuk air musta`mal. Namun bila air itu digunakan untuk mencuci atau membasuh sesautu yang diluar kerangka ibadah, maka tidak dikatakan air musta`mal. Seperti membasuh muka yang bukan dalam rangkaian wudhu`. Atau mencuci tangan yang bukan dalam kaitan wudhu`.
Dan selama air itu sedang digunakan untuk berwudhu` atau mandi, maka belum dikatakan musta`mal. Hukum musta`mal baru jatuh bila seseorang sudah selesai menggunakan air itu untuk wudhu` atau mandi, lalu melakukan pekerjaan lainnya dan datang lagi untuk wudhu` / mandi lagi dengan air yang sama. Barulah saat itu dikatakan bahwa air itu musta`mal. Mazhab ini juga mengatakan bahwa bila ada sedikit tetesan air musta`mal yang jatuh ke dalam air yang jumlahnya kurang dari 2 qullah, maka tidak mengakibatkan air itu menjadi `tertular` kemusta`malannya.
BATASAN VOLUME MINIMAL
Para ulama ketika membedakan air musta’mal dan bukan (ghairu) musta’mal, membuat batas dengan ukuran volume air. Fungsinya sebagai batas minimal untuk bisa dikatakan suatu air menjadi musta’mal. Bila volume air itu telah melebihi volume minimal, maka air itu terbebas dari kemungkinan musta’mal. Itu berarti, air dalam jumlah tertentu, meski telah digunakan untuk wudhu atau mandi janabah, tidak terkena hukum sebagai air musta’mal.
Ukuran volume air yang membatasai kemusta’malan air adalah 2 qullah. Jadi istilah qullah adalah ukuran volume air. Ukuran volume air ini pasti asing buat telinga kita. Sebab ukuran ini tidak lazim digunakan di zaman sekarang ini. Kita menggunakan ukuran volume benda cair dengan liter, kubik atau barrel. Sedangkan istilah qullah adalah ukuran yang digunakan di masa Rasulullah SAW masih hidup. Sebenarnya berapa ukuran volume 2 qullah dalam ukuran standar besaran international dimasa sekarang ini?
Para ulama kontemporer kemudian mencoba mengukurnya dengan besaran zaman sekarang. Dan ternyata Dalam ukuran masa kini kira-kira sejumlah 270 liter. Demikian disebutkan oleh Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu.
PENDAPAT BERBEDA TTG AIR MUSTA’MAL
Selain pendapat dari ulama-ulama mazhab di atas, ada juga ulama yang memiliki pendapat berbeda tentang tentang air Musta’mal, di antaranya adalah Syaikh Dr. Sayyid Sabiq (pengarang buku Fikih Sunnah yang terkenal), Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah (pengarang buku Fikih Wanita) dan Ust. A.Hassan (Hasan Bandung, Pendiri PERSIS <Persatuan Isam>). Ulama-ulama ini berpendapat bahwa air mustakmal itu tidak ada atau kalaupun ada, statusnya tetap sama seperti air muthlaq, yaitu suci dan mensucikan. Berdasarkan hadits:
“Bahwa Rasulullah Saw menyapu kepala dengan sisa air (wudhu’) yang terdapat pada tangannya” (HR. Abu Daud)
Sementara Ust. A. Hassan dalam buku Soal Jawab mengetengahkan hadits berikut :
# Dari Abdullah bin Yazid bin Ashim Al Anshari RA, dia berkata, "Dia pernah disuruh oleh seseorang, "Berwudhulah untuk kami seperti berwudhunya Rosululloh SAW." Kemudian dia meminta wadah berisi air lalu dikucurkan pada kedua tangannya dan membasuhnya tiga kali, kemudian dia masukkan kedua tangannya lalu dikeluarkannya, kemudian berkumur dan menghirup air dengan hidung dari satu telapak tangan. Dia melakukan itu tiga kali, kemudian dia memasukkan kedua tangannya dan mengeluarkannya lalu membasuh wajahnya tiga kali, kemudian dia memasukkan tangannya lagi dan mengeluarkannya kemudian membasuh kedua tangannya sampai siku masing-masing dua kali, kemudian dia memasukkan tangannya dan mengeluarkannya, lalu mengusap kepalanya dengan menggerakkan kedua tangannya dari depan ke belakang, kemudian dia membasuh kedua kakinya sampai mata kaki. Lalu ia berkata, "Demikianlah cara wudhu Rosululloh SAW." [HR.Muslim 1/145]
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar